Bagikan:

JAKARTA - Produsen baja dunia asal Korea Selatan POSCO, disebut tengah meninjau langkah untuk mengakhiri usaha patungan yang perusahaan yang dikendalikan oleh militer di Myanmar. 

Sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan, POSCO C&C yang berbasis di Korea Selatan tengah berusaha untuk menjual 70 persen sahamnya dalam usaha patungan dengan Myanmar Economic Holdings Ltd., (MEHL), atau membeli saham mitranya sebesar 30 persen yang belum diketahui nilai kepemilikannya. 

Ini dilakukan tidak lepas dari semakin memburuknya situasi di Myanmar, di mana kekerasan terhadap pengunjuk rasa terus berlangsung. Tercatat sekitar 557 pengunjuk rasa antikudeta militer Myanmar tewas hingga Minggu 4 April. 

MEHL merupakan satu dari dua entitas bisnis militer Myanmar yang baru-baru ini dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat dan Inggris. Sementara, POSCO C&C memastikan belum membayar dividen kepada MEHL sejak krisis Rohingya pada tahun 2017 lalu. 

Namun, POSCO disebut tetap memerhatikan kestabilan dari langkah yang diambil, mempertimbangkan dampak terhadap potensi pemasukan ratusan juta dolar yang diperoleh dari proyek yang lebih menguntungkan. Proyek yang dioperasionalkan bersama perusahaan negara Myanmar lainnya dengan afiliasi POSCO Internasional. 

"Kami tidak ingin menjalankan bisnis seperti yang kami lakukan sekarang, dan kami sedang meninjau restrukturisasi operasi Myanmar kami," salah satu dari dua sumber yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan kepada Reuters.

"Ini tidak berarti kami terburu-buru untuk membuat keputusan apa pun, tetapi dua opsi yang berpotensi terjadi termasuk menjual saham kami atau membeli saham mereka (MEHL)," sambung sumber tersebut.

POSCO C&C sebelumnya mengatakan bisnisnya tidak akan terkena sanksi, dan hanya akan mengambil tindakan jika menemukan bahwa MEHL terlibat langsung dalam kudeta militer Myanmar. MEHL tidak menanggapi permintaan komentar Reuters.

Sementara itu, keuntungan yang didapat POSCO dari bisnis baja Myanmar sekitar 2 miliar won atau sekitar 1,77 juta dolar AS tahun lalu. Adapun sekitar dua pertiga dari keuntungan operasional di Posco International  tahun lalu, sekitar 300 miliar won atau 265,5 juta dolar AS dalam kemitraan dengan perusahaan energi lokal Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE).

"Secara relatif, bisnis lembaran baja tidak menghasilkan banyak uang. Dan struktur kepemilikannya jauh lebih sederhana daripada beberapa bisnis POSCO lainnya di Myanmar," kata sumber kedua di perusahaan tersebut.

"Tapi jika kita keluar, penting untuk mengatakan 'selamat tinggal' dengan baik," imbuhnya.

Terpisah, Shin Mee-jee dari dari Solidaritas Rakyat Korea Selatan untuk Demokrasi Partisipatoris, meminta Layanan Pensiun Nasional (NPS) untuk menekan POSCO agar memutus hubungan dengan militer Myanmar.

NPS adalah pemegang saham terbesar di POSCO, dengan 11,1 persen saham senilai 2,42 miliar dolar AS. NPS merupakan dana pensiun terbesar ketiga di dunia secara keseluruhan dengan aset hampir 1 triliun dolar AS.

"Sungguh tidak masuk akal, melihat uang pembayar pajak kita disalurkan untuk membunuh rakyat Myanmar melalui (pensiun). Pemerintah juga perlu lebih bertanggung jawab tentang kemana perginya uang dana pensiun," tukas Shin.

Seorang juru bicara NPS menolak berkomentar ketika ditanya apakah dana atau komite pengaturnya akan mengambil tindakan untuk kemungkinan mengeluarkan POSCO dari dananya.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.