Dituding Dukung Rezim Militer, Konglomerat Korea Selatan Blak-blakan Bisnisnya di Myanmar
Kantor Myanmar POSCO C&C. (Facebook/Myanmar POSCO C&C Co., Ltd)

Bagikan:

JAKARTA - Konglomerat Korea Selatan POSCO membantah tuduhan terkait dengan ladang gas lepas pantai yang dioperasikan di Myanmar, terkait dengan rezim militer dan digunakan untuk membantu mendanai tindakan kekerasan berdarah terhadap pengunjuk rasa antikudeta 1 Februari.

Dalam sebuah pernyataan POSCO menerangkan, ladang gas, bersama dengan tiga dari lima bisnis yang dijalankannya di Myanmar, telah beroperasi selama 20 tahun, sebelum militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing melakukan kudeta pada bulan Februari dan menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. .

Ketiganya adalah hotel, kompleks pengolahan beras dan perusahaan perdagangan. Semuanya dijalankan POSCO International. POSCO mengakuisisi bisnis tersebut pada tahun 2010, untuk memperluas protofolionya di luar manufaktur baja.

Bisnis kelima yang dioperasikan pembuat baja di sana adalah Myanmar POSCO Coated and Color (MPCC), usaha patungan baja yang dijalankan antara anak perusahaannya POSCO C&C dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL), salah satu konglomerat yang dikendalikan militer negara itu.

posco myanmar
Proyek ladang gas yang dijalankan oleh POSCO International di lepas pantai Myanmar. (Sumber: POSCO International via Koreatimes)

Dalam kasus MPCC, POSCO mengatakan tidak akan membagikan dividen kepada MEHL sampai krisis Myanmar diselesaikan. Pembuat baja tersebut mengatakan, pihaknya dapat mempertimbangkan kembali kemitraannya dengan MEHL, tergantung pada bagaimana situasi politik berkembang.

"MPCC adalah satu-satunya bisnis yang diakui terkait dengan militer Myanmar," kata perusahaan itu, melansir Koreatimes

Sementara itu, proyek gas di lepas Pantai Shwe, yang terletak 500 kilometer dari ibukota Myanmar, Naypyidaw, telah diperdebatkan karena termasuk Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE), sebuah perusahaan milik negara dalam konsorsium enam perusahaan internasional yang dipimpin oleh POSCO.

Proyek ladang gas Shwe membukukan penjualan 623 juta dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020, terhitung 86 persen dari total penjualan POSCO International di Myanmar.

Sedangkan, ladang gas menghasilkan laba operasi 276 juta dolar AS tahun lalu, menyumbang 64 persen dari total laba operasi perusahaan di negara itu. MOGE memiliki 15 persen saham. Ini membuat pendukung pro-demokrasi Myanmar, menuding bisnis tersebut digunakan untuk membiayai rezim militer.

unjuk rasa myanmar
Unjuk rasa anti kudeta militer Myanmar. (Twitter/@HsuChiKo1)

"Kami tidak percaya argumen itu, mengingat fakta bahwa hubungan kami dengan MOGE sudah ada jauh sebelum kudeta. Tidak masuk akal untuk mengatakan kami mendukung junta militer, karena perubahan tiba-tiba dalam pemerintahan," kata POSCO

Produsen baja terbesar kelima di dunia itu mengatakan telah memantau langkah perusahaan multinasional lain yang mempertimbangkan kembali bisnis mereka di Myanmar atau telah mundur.

Namun demikian, POSCO membatasi kemungkinan penangguhan atau penarikan dari proyek gas tersebut. Perusahaan merujuk pada kontrak multi-pihak yang mengikat, dengan mengatakan, "Setiap keputusan sepihak yang diambil, dapat merusak kemitraan yang diperoleh dengan susah payah."

POSCO mengatakan penangguhan proyek gas pada akhirnya akan merugikan ekonomi Myanmar dan warga sipil, mengingat itu digunakan untuk menghasilkan listrik.

Ditambahkan, China atau bisnis asing lainnya dapat menggantikan POSCO jika ditarik keluar, dengan mengatakan, "Ini hanya akan menguntungkan junta, sementara menimbulkan kerugian pada Korea."

POSCO juga menyebut mulai memulangkan pegawai asal Korea Selatan dan anggota keluarganya dari Myanmar. Total ada lebih dari 50 pekerja dan keluarga asa Korea Selatan yang tinggal di Myanmar.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.