Bagikan:

JAKARTA - Tragedi yang dialami armada pesawat Jeju Air di Bandara Internasional Muan Desember lalu menimbulkan kekhawatiran tentang manajemen keselamatan di banyak bandara regional Korea Selatan, menurut para ahli pada Hari Minggu.

Mereka memperingatkan, pembangunan bandara lokal tanpa protokol keselamatan yang tepat, tenaga kerja yang cukup, atau manajemen yang memadai dapat menyebabkan kecelakaan serupa di masa mendatang.

Efisiensi, kelayakan ekonomi, dan langkah-langkah keselamatan bandara-bandara ini harus dinilai ulang secara menyeluruh, bahkan jika itu berarti menunda pembukaannya, kata para ahli, dikutip dari The Korea Times 6 Januari.

Industri penerbangan menyatakan kekhawatiran atas perjuangan bandara yang kurang dimanfaatkan, di mana permintaan yang rendah mengakibatkan anggaran yang tidak memadai dan manajemen yang buruk.

Dikatakan, ketidakstabilan pemasukan menciptakan permasalahan yang menyebabkan kekurangan peralatan dan staf kronis, pada gilirannya semakin merusak efisiensi dan keselamatan operasional.

Di Bandara Muan di Provinsi Jeolla Selatan, lokasi bencana penerbangan paling mematikan di negara itu, yang merenggut 179 nyawa, kekurangan keselamatan menjadi sorotan.

Selama enam tahun terakhir, bandara tersebut telah melaporkan 10 serangan burung tetapi tidak memiliki peralatan penting, seperti radar dan perangkat pencitraan termal. Selain itu, hanya empat anggota staf yang bertugas mengendalikan burung.

Bandara regional lainnya menghadapi tantangan serupa.

Bandara Internasional Yangyang di Provinsi Gangwon beroperasi tanpa radar kontrol, sementara Bandara Ulsan memiliki landasan pacu hanya sepanjang dua kilometer, yang terpendek di antara bandara domestik.

Fasilitas bantuan navigasi beton, yang diidentifikasi sebagai faktor dalam tingginya jumlah korban tewas akibat kecelakaan Jeju Air, sering dipasang di bandara regional.

Bandara di Muan, Yeosu, Gwangju, dan Pohang-Gyeongju dilengkapi dengan struktur beton, sedangkan hub utama seperti Bandara Internasional Incheon dan Bandara Gimpo menggunakan struktur baja, yang dianggap lebih aman dan lebih tangguh.

Kesenjangan ini telah mendorong seruan untuk menilai ulang proyek yang sedang berlangsung untuk membangun bandara regional baru.

Menurut Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi, pembangunan delapan bandara regional baru sedang berlangsung, meliputi Bandara Pulau Gadeok, bandara kedua Jeju, Bandara Baru Terpadu Daegu-Gyeongbuk, Bandara Internasional Saemangeum, Bandara Ulleung, Bandara Heuksan, Bandara Baengnyeong, dan Bandara Seosan.

Pembahasan mengenai proyek-proyek ini dimulai sejak tahun 2011, dengan Bandara Ulleung dan Bandara Heuksan dijadwalkan dibuka pada tahun 2027.

Perlu dicatat, hanya Bandara Pulau Gadeok dan bandara kedua Jeju yang dirancang dengan landasan pacu yang lebih panjang —masing-masing 3.500 meter dan 3.200 meter — sementara bandara lainnya diperkirakan memiliki landasan pacu yang lebih pendek, yaitu hanya 1.200 meter.

Para ahli menyerukan evaluasi yang lebih ketat terhadap penawaran dan permintaan sebelum membangun bandara regional baru, dengan menekankan perlunya memastikan kelayakan ekonomi dan keselamatannya.

"Tujuan dari sebuah bandara bukan hanya untuk meningkatkan transportasi bagi penduduk lokal, tetapi juga harus berkontribusi pada ekonomi nasional dan lokal," kata Profesor Departemen Ilmu Penerbangan dan Operasi Penerbangan Kim Kwang-il dari Universitas Silla.

"Bandara yang gagal berkontribusi pada ekonomi nasional tidak boleh dibangun, dan bandara yang utamanya melayani penduduk lokal dengan permintaan yang tidak mencukupi harus menjalani peninjauan lebih lanjut," tandasnya.

Ia juga menekankan pentingnya melibatkan tidak hanya kementerian pertanahan tetapi juga para ahli dari luar, termasuk spesialis internasional, dalam menilai keselamatan bandara.

Sementara itu, Profesor Departemen Ilmu Penerbangan dan Operasi Penerbangan dari Universitas Transportasi Nasional Korea Lee Gun-young juga menyuarakan kekhawatiran tentang bandara yang merugi dan infrastrukturnya yang tidak memadai.

"Keterbatasan anggaran sering kali mengakibatkan landasan pacu yang lebih pendek dan langkah-langkah keselamatan yang terbatas, sementara pemerintah daerah mendorong pembangunan bandara tanpa menilai permintaan penumpang dengan benar," katanya.

"Pengoperasian bandara membutuhkan keahlian yang sesungguhnya, yang tidak ada dalam sistem saat ini," tandasnya.