JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto mengatakan pimpinan MA maupun pimpinan badan peradilan di seluruh Indonesia tidak perlu dijamu hingga diberi ruangan naratama (VIP) di bandara saat melakukan kunjungan kerja.
Menurut Suharto, hal itu telah menjadi prosedur operasional standar (SOP) di kalangan pimpinan MA dan pimpinan badan peradilan di bawahnya untuk membudayakan gaya hidup sederhana.
"Kami kalau ke daerah sudah menyampaikan, tidak perlu dijamu karena kami sudah punya surat tugas, punya dana, uang harian yang diberikan oleh negara untuk kita pakai makan, jadi bukan untuk dibawa pulang diberikan kepada keluarga kita," kata Sunarto saat Refleksi Akhir Tahun MA di Jakarta dilansir ANTARA, Jumat, 27 Desember.
Sunarto mengatakan, perubahan mesti dilakukan dari bagian terkecil. Selain itu, Ketua MA meyakini pimpinan merupakan panutan yang dicontoh oleh jajarannya.
"Tidak ada oleh-oleh, tidak ada traktiran, tidak dibukakan VIP room di bandara, enggak ada. Kita harus memulai dari yang kecil-kecil yang kita benahi dahulu. Mulai dari saat ini, dimulai dari diri sendiri. Siapa dahulu? Pimpinan MA, pimpinan badan peradilan di seluruh Indonesia harus memulai," tegasnya.
Dia menekankan pimpinan MA dan badan peradilan harus menjadi teladan, sehingga tidak boleh menjadi bagian dari masalah di institusi tersebut. Hal itu, kata dia, telah menjadi komitmen bersama di kalangan pimpinan.
Sunarto pun mengajak publik, melalui pers, untuk memantau sekaligus mengawasi pengejawantahan komitmen tersebut.
"Kami semua berkomitmen tidak ingin menjadi bagian dari masalah di institusi ini. Karena kalau pimpinan MA maupun pimpinan badan peradilan menjadi bagian dari masalah, maka segala potensi yang ada hanya habis digunakan untuk menyelesaikan masalah pimpinan. Kapan masalah institusi atau lembaga akan diselesaikan?" tuturnya.
BACA JUGA:
Sementara itu, dalam konteks memutus mata rantai pelanggaran etik di kalangan hakim maupun aparatur peradilan, MA telah tegas menjatuhkan sanksi sebagai efek jera. Sunarto berkomitmen agar kejadian seperti Zarof Ricar, mantan pegawai MA yang menjadi tersangka dugaan pemufakatan suap atau gratifikasi.
Di sisi lain, kata dia, unsur pimpinan MA, pimpinan badan peradilan, dan hakim agung diberi kewenangan untuk menjadi pengawas dan pembina aparatur peradilan. Selain itu, pimpinan pengadilan tingkat banding juga berwenang melakukan tindakan sementara berupa detasering aparatur yang diindikasikan melanggar etik.
Pada pemaparannya, Sunarto juga memerinci bahwa pimpinan MA telah menjatuhkan sanksi kepada 206 hakim dan aparatur peradilan sepanjang tahun 2024, dengan rincian 79 orang dijatuhi sanksi berat, 31 sanksi sedang, dan 96 sanksi ringan.