JAKARTA - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyinggung keberhasilan Kejaksaan Agung dan Polri dalam memberantas korupsi tanpa operasi tangkap tangan (OTT).
Hal ini disampaikan wakil ketua komisi antirasuah tersebut ketika dikonfirmasi terkait pernyataannya dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test capim KPK yang digelar Komisi III DPR pada Selasa, 19 November.
Johanis Tanak saatt itu sempat menyebut rencananya menghapus OTT dan mendapat sambutan dari para legislator.
"Kejaksaan tidak pakai OTT atau tangkap tangan tapi mereka sukses menangani perkara tipikor. Begitu juga Polri," kata Johanis kepada wartawan, Rabu, 20 November.
Johanis menerangkan aturan soal OTT itu tidak ada dalam UU Tipikor maupun UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Sehingga, sudah seharusnya komisi antirasuah menjalankan tugasnya sesuai beleid yang berlaku.
Menurut dia, kesuksesan upaya pemberantasan rasuah bukan dilihat dari jumlah tangkap tangan yang dilakukan.
"Tapi bagaimana kita mencegah korupsi dan menindak," tegasnya.
"Ada kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati," sambung Johanis.
BACA JUGA:
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata punya pandangan berbeda dengan koleganya itu. Operasi senyap disebutnya sebagai salah satu upaya penindakan sehingga tak mungkin ditiadakan.
"KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi. Nah, kegiatan tangkap tangan itu kan bagian dari penindakan," kata Alexander kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 20 November.
"Jadi saya kira enggak akan hilang juga sih," sambung dia.
Alexander menjelaskan OTT memang tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam beleid itu, yang ada memang istilah tertangkap tangan.
Hanya saja, Alexander menilai masalah ini tidak terlalu esensial karena hanya istilah semata. Alih-alih dihilangkan, dia menyebut OTT sebaiknya dilakukan lebih baik lagi.
"Perangkatnya (untuk melakukan OTT, red) kan juga ada. Mungkin lebih selektif bisa," ujar dia.