Bagikan:

JAKARTA - Pengadilan Jakarta Timur mengabulkan sebagian gugatan PT Mas Lestari Perkasa terhadap Perusahaan agribisnis milik Astra terkait wanprestasi pengadaan minyak CPO senilai Rp56 Miliar.

Melansir laman SIPP PN Jakarta Timur soal perkara nomor 90/Pdt.G/2024/PN JKT.TIM, PT Astra Argo Lestari dan dua anak perusahaannya wajib membayar secara tanggung renteng.

"Jadi kebetulan 15 Oktober 2024, pengadilan sudah menjatuhkan putusan terhadap Astra Argo Lestari dan dua anak perusahaanya. Atas gugatan yang klien kami ajukan," kata Kuasa hukum PT Mas Anthony Djono di Jakarta, Sabtu, 19 Oktober. 2024

Anthony membeberkan, kronologi wanprestasi yabf merugikan kliennya bermula dari perjanjian kontrak suplier minyak goreng atau kelapa sawit (CPO) sejak 2019 hingga 2021.

Mulanya, bisnis itu berjalan lancar selama setahun. Namun, dalam perjalanan PT AAL mendadak menghentikan perjanjian kerja sama sepihak.

"Jadi klien kami itu adalah supllier minyak Kelapa Sawit atau CPO dari PT Astra Argo Lestari beserta anak perusahaanya sejak 2019-2021 dan berjalan lancar. Mulai sengketa itu oktober 2021. Kalau bapak ibu ingat sekitar 2021 pernah terjadi penurunan CPO yang sangat signifikan, mungkin pihak Astra merasa jika kontrak dengan klien kami tetap dilaksanakan, mungkin akan menimbulkan kerugian," jelas Anthony.

"Tapi problemnya kontrak yang sudah dilakukan klien kami begitu saja diabaikan atau tidak diakui atau tidak dilaksanakan," bebernya.

Anthony menyebut jika kliennya sempat mengajak tergugat untuk menyelesaikan masalah wanprestasi ini secara baik. Upaya damai itu pun sudah dilakukan beberapa kali namun tak mendapat respons positif dari tergugat.

"Klen kami awalnya secara persuasif melakukan meeting agar pihak astra melaksanakan kontrak. Bahkan karena tidak tercapai kesepatakan menunjukk kami, dan kami sudah melakukan somasi sebanyak 3 kali. Karena tidak diindahkan, sehingga kami mengajukan gugatan ini," paparnya.

Kerugian materil dan imateril

Atas pembatalan kontrak ini, PT Mas Lestari Perkasa mengalami kerugian besar. Kerugian yang ditimbulkan akibat wanprestasi PT AAL ini membuat pembelian CPO sebanyak 11 Ribu Ton menjadi sengkarut.

"Pertama karena kita sudah mendapatkan kontrak sebanyak 11 ribu ton, tentunya untuk memenuhi kontrak itu kita perlu belanja dengan pihak ketiga. Karena kita perusahaan trading dan sudah belanja, tapi Astra tidak mengakui kontrak. Sehingga klien kami terpaksa beli dari pihak lain," katanya.

Akibatnya, PT Mas, kata Anthony, terpaksa menjual minyak CPO yang terlanjur dibeli dengan harga murah. Alhasil perusahaan tersebut pun merugi.

"Terpaksa yang sudah belanja dari pihak lain, kita jual murah atau jual modal. Banyak juga yang rugi ya, jadi yang kita klaim, adalah leasingnya. Yang seharusnya kita jual ke astra berapa, dengan modal yang kita beli. Itu dikabulkan oleh majelis hakim Rp52 Miliar sekian," tuturnya.

Batalnya kontrak tersebut juga menyebabkan PT Mas merugi karena terlanjur menyewa tempat untuk menampung CPO sebanyak 11 Ribu Ton.

Total kerugian penyewaan tempat itu mencapai hampir Rp1 Miliar.

"Kerugian kedua yang diakuin Majelis Hakim adalah karena kita sudah membeli CPO otomatis kita harus sewa tempat untuk menampung atau sewa tangki istilahnya. Itu dikabulkan sebanyak Rp960 juta dan kerugian ketiga yang dikabulkan adalah biaya transport melalui kontrak dengan jasa angkutan dan dikabulkan Rp2.980.000.000," tutupnya.

Selain itu, tergugat juga dihukum membayar Rp100 Juta sebagai uang paksa apabila salah satu tergugat tak melaksanakan putusan tersebut.

"Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 100.000.000 setiap harinya kepada Penggugat, setiap Para Tergugat atau salah satu dari Para Tergugat lalai melaksanakan isi Putusan ini," bunyi putusan tersebut.