Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Iqbal Kholidin meminta pembagian bantuan sosial berupa sembako tak dijadikan sebagai alat kampanye dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran dalam Pemilu. Penyalahgunaan bansos itupun termasuk kategori politik uang.

“Bagi sembako gunakan fasilitas negara seperti aneka macam bansos bersumber dari APBN/APBD itu kategori politik uang di masa pemilu. Apalagi bagi-bagi uang seperti bantuan, barang dan lain-lain,” ujar Iqbal kepada wartawan, Jumat, 18 Oktober.

Apalagi, bentuk penyalahgunaan tersebut seperti pembagian sembako yang disertai foto paslon yang berkontestasi dalam Pilkada.

Mengenai politik uang, kata Iqbal, saat menjadi persoalan yang tak pernah selesai di setiap momen pesta demokrasi di Indonesia. Praktik menyuap pilihan masyarakat menjadi masalah klasik dalam setiap perhelatan pesta demokrasi.

“Perlu ada tindakan tegas dari penyelenggara Pemilu yaitu Bawaslu untuk memberikan sanksi kepada paslon yang ketahuan memberikan Bansos. Masyarakat juga yang melihat dan mengetahui harus melaporkan hal tersebut ke Bawaslu,” kata Iqbal.

Aksi bagi-bagi sembako yang diduga merupakan pelanggara pemilu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Pemprov Kalteng). Ribuan paket sembako terus disebar ke seluruh penjuru wilayah di Kalteng oleh Gubernur Sugianto Sabran.

Bantuan paket sembako yang disalurkan tersebut terdiri dari beras 10 kilogram, gula 1 kilogram, dan minyak goreng 1 liter dengan nilai Rp198.500 per paket.

Setiap penerima paket sembako mendapat subsidi dari Pemprov Kalteng sebesar Rp178.500 sehingga masyarakat hanya menebus Rp20.000 per paketnya.

Perihal tersebut, Sugianto Sabran angkat bicara. Menurutnya, aksi bagi-bagi sembako yang dikemas dengan pasar murah tersebut demi mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok bahkan untuk mencegah stunting.