Bagikan:

JAKARTA - Komisi X DPR RI mendorong kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan internal untuk menggunakan standar sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Hal tersebut guna mencegah tindakan bullying hingga berujung kematian dr. Aulia Risma Lestari peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip).

"Tindakan bullying juga kekerasan kerap kali terjadi, itu lah kenapa kami sering mengimbau bahwa K/L perlu menyelenggarakan pendidikan di bawah sistem UU Sisdiknas," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, Selasa 20 Agustus.

Dede menilai, tidak adanya penerapan Sisdiknas dalam sekolah Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan seperti pada spesialis kedokteran membuat kurangnya sistem pengawasan terhadap program pendidikan.

"Kelemahan dari K/L lainnya ada pada fungsi pengawasan, nah sementara kita tahu kalau di Kemendikbud dengan Sisdiknas itu banyak pemantauan dari mulai orang tua, guru, satgas antibullying. Ada permendikbudnya," ucapnya.

Komisi X DPR sendiri tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidian internal karena instansi-instansi tersebut tidak mengikuti standar Sisdiknas yang pusatnya bermuara pada Kemendikbud sebagai mitra Komisi X.

Padahal Sisdiknas yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 di mana aturan terbarunya sedang digodok melalui revisi undang-undag (RUU) di Komisi X DPR mengatur secara detail tentang pencegahan bullying atau perundungan di lingkungan pendidikan. Oleh karenanya, Dede menilai penting agar K/L mengikuti standar Sisdiknas saat menyelenggarakan pendidikan.

"Kalau di Kementerian/Lembaga sepertinya sudah sering terjadi berulang tanpa ada fungsi pengawasan yang jelas. Maka dari itu kita dorong untuk menerapkan Sisdiknas agar lebih mudah dalam pengawasannya," kata Dede.

Legislator dapil Jawa Barat II ini menilai, penerapan Sisdiknas dapat mengurangi aksi-aksi bulllying di lingkungan pendidikan karena ada aturan yang terstruktur.

“Apalagi ternyata masalah bullying di PPDS ini sudah mengakar dan menjadi budaya. Sisdiknas bisa menjadi acuan agar program pendidikan yang diselenggarakan sendiri oleh kementerian/lembaga berjalan dengan pengawasan penuh. Tentunya tak hanya pada program spesialis dokter ya, tapi semua,” paparnya.

“Kalau kayak sekarang kan jalan sendiri, apa yang terjadi dalam program pendidikannya hanya diketahui mereka saja. Tahu-tahu ramai saat ada kasus kaya sekarang, jadi pencegahan dan pemantauannya kurang,” sambung Dede.

Komisi X DPR juga berharap agar kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan mengikuti Sisdiknas. Meskipun tindakan bullying dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, kata Dede, setidaknya ada payung hukum yang jelas dalam penanganan dan pencegahannya di ranah pendidikan.

"Harapan kami semua K/L lain yang menyelenggarakan pendidikan harus mengikuti Sisdiknas agar pengawasan dan controlingnya tetap ada," kata

"Maki kami selalu mendorong agar K/L lain itu menggunakan standar pendidikan yang digunakan Kemendikbud yaitu Sisdiknas ini, termasuk standart pengawasannya," sambung Dede.

Seperti diketahui, kasus bullying marak terjadi di lingkungan pendidikan kedinasan yang diselenggarakan sendiri oleh kementerian/lembaga. Tak hanya pada PPDS, tapi juga program pendidikan khusus lainnya.

Misalnya yang baru-baru ini terjadi adalah kasus di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang berada dalam naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di mana seorang siswanya bernama Putu Satria Ananta Rustika tewas akibat tindak kekerasan dari seniornya pada bulan Mei 2024 lalu.

Kasus kekerasan berujung kematian juga pernah beberapa kali terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), salah satunya kasus kekerasan terhadap Calon Praja Tingkat 1 I asal Lampung yang meninggal dunia ketika mengikuti pendidikan dasar (diksar) di tahun 2017. IPDN berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Selain kasus kematian dr. Aulia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan menerima ratusan laporan terkait bullying senior ke junior pada program PPDS. Di media sosial juga ramai kisah-kisah yang membongkar kasus perundungan yang ada di PPDS.

Beberapa di antaranya seperti junior di PPDS yang diwajibkan menyediakan makanan kepada senior dalam waktu-waktu dan kondisi yang tidak wajar. Lalu ada juga hukuman fisik hingga ada 'jatah istri residen junior’ kepada senior.

Peserta PPDS atau residen spesialis pun diketahui harus mengakomodir biaya pesta, perjalanan dengan pesawat, hingga hotel bagi senior dengan nilai biaya yang sangat besar sampai puluhan hingga seratusan juta. Bahkan ada peserta PPDS yang harus rela merangkap menjadi ‘tukang parkir’ dan ‘sopir’ senior untuk antar jemput.

Menurut Dede, kasus-kasus seperti itu sudah masuk ke ranah hukum dan pelaku bisa dijerat dengan ancaman pidana.

“Kalau sudah seperti itu kan artinya adanya pemerasan di situ, pelecehan, dan penyalahgunaan wewenang. Sudah masuk pidana dan harus ditindak,” tegasnya.