JAKARTA - Hasil investigasi dr. Aulia Risma yang diduga bunuh diri karena tak tahan menjadi korban bullying menemukan fakta baru, yaitu adanya pemalakan oleh senior sebesar Rp 20-40 juta. DPR RI pun mendesak Pemerintah untuk segera melakukan reformasi sistem Program Pendidikan Spesialis (PPDS) yang diketahui kental dengan unsur bullying.
"Perundungan di lingkungan pendidikan tidak bisa lagi dianggap sepele. Reformasi sistem pendidikan kedokteran spesialis dan pengawasan yang sangat ketat mutlak dilakukan," ujar Anggota Komisi IX Arzeti Bilbina, Senin 1 September.
Hasil penyelidikan sementara dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diketahui, almarhumah dr. Aulia kerap dipalak oleh seniornya sebanyak Rp 20-40 juta. Pemalakan tersebut terjadi sejak semester pertama dari Juli-November 2022.
Menurut investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), uang yang ‘dipalak’ para senior ke dr. Aulia dan para juniornya dengan nominal hingga Rp 40 juta ternyata digunakan untuk menyewa jasa penulis lepas untuk membuat naskah akademik dan menggaji para OB. Arzeti mengatakan, masalah ini sudah masuk ranah pidana.
"Kasus ini harus perhatian khusus karena ini bentuk pemerasan, sudah kriminal dan sangat meresahkan. Harus ada pertanggunjawaban secara pidana. Ini sangat mengkhawatirkan karena perundungan bukan lagi soal fisik dan mental, tapi pemerasan juga,” tuturnya.
Menurut Arzeti, kasus dr.Aulia menjadi tamparan keras bagi sistem pendidikan residensi dokter spesialis. Apalagi perundungan tersebut terjadi di lingkungan profesi yang sangat dihargai oleh banyak masyarakat yaitu dokter.
BACA JUGA:
"Kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk berbenah. Perundungan di lingkungan pendidikan, apalagi di bidang kedokteran, sangat merusak proses pembentukan karakter dan kualitas profesional calon dokter yang akan melayani masyarakat," jelas Arzeti.
Permintaan uang di luar biaya pendidikan yang sudah ditetapkan dinilai merupakan pelanggaran etika yang serius. Hal ini, kata Arzeti, menunjukan adanya praktik yang tidak sehat dan merugikan banyak peserta didik spesialisasi dokter.
"Permintaan uang yang tidak wajar menunjukkan adanya ketidakadilan dalam akses pendidikan. Tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan finansial yang sama, sehingga praktik seperti ini dapat menghambat mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi," ungkapnya.
Arzeti pun menekankan kepada Pemerintah, khususnya Kementerian/Lembaga yang memiliki sekolah atau layanan pendidikan khusus untuk menciptakan sistem pendidikan yang aman, sehat dan berkualitas. Menurutnya hal tersebut dilakukan untuk mencetak lulusan yang berkulitas, di mana untuk bidang kesehatan sendiri diharapkan memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat.
"Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi para mahasiswa dan residen untuk berkembang, bukan menjadi sarang perundungan dan intimidasi yang merusak
mental mereka," tegas Arzeti.
Lebih lanjut, legislator dari Dapil Jawa Timur I ini mendorong Pemerintah melakukan evaluasi sistem pendidikan spesialis kedokteran di Indonesia, melihat sudah terbukti banyaknya kasus perundungan di jalur PPDS. Arzeti menilai, pengawasan dan perlindungan terhadap mahasiswa dan residen ini harus diutamakan.
“Evaluasi harus mencakup perbaikan dalam tata kelola pendidikan kedokteran spesialis, pembentukan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif, serta penegakan aturan yang tegas terhadap tindakan perundungan,” paparnya.
"Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa para lulusan kita siap untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Indonesia," sambung Arzeti.
Program pendidikan kedokteran spesialis pun disebut harus melingkupi juga tentang kesehatan mental bagi semua pihak yang terlibat, termasuk untuk senior maupun pengajar. Artinya, disampaikan Arzeti, pendidikan tidak hanya fokus pada kemampuan akademis semata.
“Isu mental health ini bukan lagi jadi sekadar wacana. Karena buktinya valid dan nyata. Dengan memperhatikan unsur mental, kita harap tidak lagi ada senior-senior yang melakukan perundungan untuk junornya. Dan mereka yang menjadi korban juga jadi punya pendampingan,” urainya.
Arzeti pun menyoroti bagaimana masalah bullying dapat berdampak pada kehidupan korban maupun keluarganya. Diketahui, ayah dr. Aulia meninggal dunia tak lama setelah kematian sang anak akibat kesehatannya menurun.
“Keprihatinan yang sangat mendalam saya ucapkan untuk keluarga korban. Buat saya hal ini lebih dari masalah pelanggaran, karena ada satu keluarga yang harus menanggung luka dan kesedihan atas tindakan bullying orang lain,” sebut Arzeti.
“Membayangkan seorang ayah merasakan kepedihan karena ditinggal buah hatinya, dan tahu anaknya diperlakukan tidak baik sampai kesehatan beliau menurun, itu benar-benar menyayat hati. Sistem yang salah di PPDS menyebabkan duka di tengah masyarakat,” imbuh ibu 3 anak itu.
Hingga saat ini kasus kematian dr. Aulia Risma masih ditangani dan diselidiki oleh Polda Jawa Tengah. Polda dan Kemenkes masih berkoordinasi untuk mengungkap perundungan yang dialami oleh peserta PPDS Anestesi itu.
Di sisi lain, Arzeti menilai reformasi pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan pihak independen, untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung kualitas akademik yang tinggi.
“Perbaikan yang dilakukan harus transparan dan bisa diakses oleh publik. Masyarakat berhak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dan institusi pendidikan untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan," tutur Arzeti.
Arzeti menyampaikan perundungan ini dapat berdampak jangka panjang bagi korban sehingga perlu ada pendampingan khusus untuk korban bullying agar pulih lebih cepat.
"Bahayanya bullying ini bisa berdampak jangka panjang di mana orang tersebut akan mengalami trauma. Budaya ini harus diberantas, selain itu perlu adanya pendampingan khusus bagi korban bullying agar pulih lebih cepat," ucap anggota BKSAP DPR RI itu.
Pemerintah dalam hal ini Kemenkes telah mengakui bahwa masih banyak kasus bullying dan perundungan di lingkungan PPDS). Dari data Kemenkes hingga Agustus 2024, diketahui ada 234 laporan perundungan di PPDS dengan program studi (prodi) penyakit dalam menjadi yang paling banyak.
Dari data Kemenkes juga diketahui, ada 399 dokter yang mengalami depresi dengan kategori berat dan berniat mengakhiri hidup berdasarkan survei di lingkungan PPDS. Kemenkes mengungkap, dr. Aulia menjadi salah satu peserta PPDS yang ikut dalam penelitian, dan hasilnya almarhumah mengalami depresi akibat perundungan dari para seniornya.
“Data-data ini kan sudah jelas ya. Maka tidak perlu lagi ada pihak-pihak yang melakukan pembelaan diri, apalagi sampai menutup-nutupi budaya perundungan di lingkungan PPDS. Sekarang waktunya berbenah, karena mata rantai perundungan harus diputus,” tukas Arzeti.
Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan juga meminta Kemenkes memberikan sanksi tegas bagi lembaga pendidikan yang memfasilitasi program PPDS jika terbukti ada perundungan. Arzeti mengatakan, masalah bullying harusnya bisa disetop dengan cepat jika tidak ada pembiaran.
“Praktik bullying di PPDS itu berkembang besar karena lingkungannya sendiri seperti mengizinkan itu terjadi. Jadi sudah seperti jerat setan, dan tidak lagi memandang usia yang mana seharusnya dokter spesialis ini kan sudah bukan orang muda lagi,” ujarnya.
Kemenkes mengungkap, ada 10 program studi dengan temuan kasus perundungan terbanyak di PPDS yaitu Penyakit dalam dengan 44 kasus, Bedah 33 kasus, Anestesiologi 22 kasus, Bedah Plastik 15 kasus, Bedah Saraf 13 kasus, Ortopedi 11 kasus, Obgyn 11 kasus, Neurologi 10 kasus dan Anak 7 kasus.
“Ini baru yang dilaporkan, karena saya yakin ada banyak yang tidak melapor. Ini yang mestinya diusut juga. Kita harap masalah perundungan di lingkungan PPDS yang sudah sangat mengkawatirkan bisa segera dihapuskan. Kita akan terus koordinasi dengan Kemenkes,” tutup Arzeti.