Bagikan:

SEMARANG - Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro Wijayanto menyayangkan penghentian sementara praktik Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip sebagai buntut dari kasus meninggalnya mahasiswi Program Studi Dokter Spesialis (PPDS) Undip.

"Di dalam kasus PPDS, Undip sudah melakukan investigasi internal," katanya di Semarang, Sabtu, menanggapi ditangguhkannya praktik dokter Yan Wisnu Prajoko di RSUP dr Kariadi Semarang.

Menurut dia, Undip, sebagaimana disampaikan rektor di berbagai kesempatan menegaskan bahwa kampus terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar, baik kepolisian maupun Kementerian Kesehatan.

Bahkan, kata dia, jika memang terbukti ada perundungan maka hukuman untuk pelaku jelas dan tegas, yakni drop out alias dikeluarkan.

Namun, ia mengatakan bahwa faktanya saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai ternyata penghakiman, bahkan hukuman sudah dilakukan berkali-kali terhadap FK Undip.

Hukuman pertama, berupa penutupan PPDS Undip yang dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024, kata dia, jauh sebelum penyidikan atas kasus itu rampung dan ada keputusan dari polisi, apalagi pengadilan.

Penutupan program studi itu, dia nilai, tidak hanya merugikan 80-an mahasiswa PPDS lainnya, namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantre karena kelangkaan dokter di RSUP dr Kariadi.

Hukuman kedua, kata dia, baru saja diberikan kepada dokter Yan Wisnu Prajoko selaku Dekan FK Undip yang ditangguhkan praktiknya di RSUP dr Kariadi, bahkan sebelum hasil investigasi keluar.

"Yang melakukan pemberhentian itu adalah direktur rumah sakit (RSUP dr Kariadi, red.). Kami mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari Kementerian Kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu," katanya.

Ia menilai penangguhan praktik dokter spesialis bedah onkologi itu merupakan hukuman kedua yang diberikan oleh Kemenkes atas kasus yang sebenarnya masih dalam tahap investigasi, dan hukuman kemungkinan akan berlanjut.

"Di sini, kita segera teringat kasus yang menimpa Dekan Fakultas Kedokteran Unair (Universitas Airlangga) yang diberhentikan oleh menteri karena berani kritis pada kebijakan pemerintah," katanya.

Mengenai kasus meninggalnya mahasiswi PPDS Anestesi Undip Dokter Aulia Risma Lestari, ia mengatakan bahwa semua pihak seolah tertuju pada Undip.

"Bahkan, meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang 'overload' itu adalah kebijakan rumah sakit, dan ini adalah ranah kebijakan Kementerian Kesehatan," katanya.

Secara pribadi, Wijayanto mengaku mengenal dokter Yan Wisnu sebagai pria bersuara lirih, selalu ramah, tidak pernah meledak-ledak dan hati-hati serta terukur dalam berkata-kata.

"Dapat dimengerti, dia adalah seorang dokter spesialis onkologi. Saat saya periksa wikipedia, itu adalah cabang ilmu yang berurusan dengan studi, perawatan, diagnosa dan pencegahan kanker," katanya.

Ia menceritakan akhir-akhir ini beberapa kali bertemu dengan dokter Yan Wisnu dengan wajah yang lelah dan tampak kurang tidur.

"Kepada saya, dia mengaku mengalami banyak sekali 'doxing' dan perisakan di berbagai akun media sosial yang dia miliki. Hari-hari ini dia merasa didera rasa cemas dan panik, stres, dan 'burn out'," katanya.

Di dalam ekosistem informasi yang penuh dengan kabar bohong, ujaran kebencian, dan hasrat untuk menghakimi, kata dia, korban pertama yang segera jatuh adalah kebenaran.

"Di mata saya, dia adalah sosok yang penuh integritas. Sulit saya membayangkan dia rela untuk melindungi pelaku perundungan dan mengorbankan nama baiknya sendiri. Mengorbankan puluhan mahasiswa yang lain, dan terutama almamater Undip yang teramat dicintainya. Apalagi, ditambah semua perisakan yang dialaminya," kata Wijayanto.