JAKARTA - Komisi IX DPR mendesak pemerintah segera mengambil langkah komprehensif menghentikan praktik bullying pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menyusul adanya kasus kematian dokter peserta PPDS dari jurusan spesialis Anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip), Semarang.
"Tindakan bullying adalah peristiwa yang sangat tragis dan menyedihkan. Jangan sampai ada pembiaran bullying di lingkungan pendidikan. Harus segera dihentikan dengan putus mata rantainya," ujar anggota Komisi IX Arzeti Bilbina, Senin 19 Agustus.
Seperti diketahui, dr. Aulia Risma Lestari mahasiswi Kedokteran Undip ditemukan tewas di kamar kosnya di Lempongsari, Kota Semarang.
Awalnya, Aulia diduga mengakhiri hidupnya dengan cara menyuntikkan obat penenang karena tidak kuat terhadap bullying dari dokter seniornya.
Belakangan, pihak keluarga membantah Aulia bunuh diri. Korban disebut memiliki riwayat sakit syaraf kejepit sehingga diduga Aulia menyuntikkan sendiri obat anestesi dengan dosis berlebih saat merasa sakit.
Walau begitu, curhatan Aulia melalui buku harian yang ditemukan di kamar kosnya membuka tabir pembullyan dari seniornya. Akibat kasus tersebut, Kemenkes dengan tegas memberikan perintah untuk memberhentikan sementara program anestesi FK Undip untuk melakukan investigasi terkait kasus bunuh diri peserta didik PPDS ini.
Arzeti mendukung langkah Kemenkes, apalagi masalah perundungan di lingkungan PPDS memang sudah menjadi momok dalam dunia pendidikan kedokteran Tanah Air. Seperti Aulia yang dalam buku hariannya menceritakan tidak kuat menahan tekanan dari para dokter senior.
Selain itu ramai di media sosial kisah-kisah yang membongkar kasus perundungan yang ada di PPDS, mulai dari disuruh beli makan senior, hukuman fisik hingga ada 'jatah istri residen' kepada senior. Ada pula laporan peserta PPDS atau residen spesialis yang harus mengakomodir biaya pesta maupun perjalanan senior dengan pesawat hingga seratusan juta.
Media sosial juga dihebohkan terkait adanya temuan buku pedoman bullying. Pada buku tersebut mencantumkan sejumlah aturan tata krama junior, serta tugas-tugas apa saja yang tidak boleh dilewatkan selama PPDS berlangsung.
"Penting bagi Pemerintah bekerjasama dengan pihak berwajib seperti kepolisian untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mencegah bullying. Kita harus kuat untuk memberikan informasi agar pelaku betul-betul diberikan efek jera," ucap Arzeti.
Meski pihak Universitas Diponegoro membantah tindakan bullying menjadi alasan utama peserta didik PPDS tersebut bunuh diri, masalah perundungan memang menjadi perhatian Kemenkes karena Kemenkes telah menerima lebih dari seratus laporan terkait perundungan. Laporan-laporan ini berdatangan sejak adanya regulasi anti perundungan PPDS berlaku.
Permasalahan bullying pada lingkaran PPDS ini menjadi masalah yang tidak mudah untuk diberantas. Kemenkes, mengatakan intimidasi dari senior dan dosen ke junior membuat para korban perundungan takut melapor.
Bahkan Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan berdasarkan hasil screening mental yang pernah dilakukan pihaknya, ditemukan banyak peserta PPDS yang ingin bunuh diri. Menkes juga menyebut ada anak menteri yang turut menjadi korban bullying.
Arzeti pun mengatakan, perlu ada penyelidikan menyeluruh di semua PPDS yang ada di Indonesia untuk mengetahui tentang budaya perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran spesialis.
“Ini untuk mengetahui, mana-mana saja PPDS yang kental dengan budaya perundungan. Mungkin tidak di semua program, tapi penyelidikan menyeluruh dapat memetakan masalah budaya bullying yang sudah sangat mengkhawatirkan ini,” tuturnya.
“Penyelidikan harus dilakukan secara menyeluruh ke semua jurusan PPDS agar upaya memutus rantai bullying bisa dilakukan dengan maksimal dan optimal. Pengawasan di setiap program juga harus dilakukan dengan maksimal,” sambung Arzeti.
Lebih lanjut, Legislator dari Dapil Jawa Timur I ini menekankan, budaya bullying di lingkungan pendidikan harus dihapuskan apapun bentuknya. Baik verbal maupun non-verbal, Arzeti menyebut tindakan perundungan tidak dapat dibenarkan.
"Tradisi bullying harus disetop, tidak ada pembenaran dari aksi perundungan apapun alasannya. Ini tindakan tidak bermoral dan tidak manusiawi,” tegasnya.
Arzeti mengatakan, tindakan bullying verbal biasanya memiliki penafsiran yang berbeda dari yang melakukan dan menerimanya. Bisa saja bullying verbal hanya dianggap candaan atau tidak serius oleh pelaku, padahal hal tersebut bisa dianggap sangat menekan bagi korban hingga membuatnya depresi sampai trauma.
"Makna pembicaraan seseorang itu berbeda-beda penerimaannya, kalau korban bullying jelas sekali tidak akan berani melawan. Mereka yang mengalami pembully-an ada yang sampai depresi atau stress," urai Arzeti.
Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan itu berkomitmen akan mengawasi kasus bullying di kalangan dokter spesialis. Arzeti juga mendukung Kemenkes yang menggandeng pihak kepolisian pada investigasi kasus bullying di FK Undip.
“Perlu juga ada tim khusus sendiri untuk mengatasi masalah bullying di PPDS, termasuk dari pakar kejiwaan atau psikolog. Karena kan ini PPDS lingkungan yang baik dosen maupun seniornya bukan lagi di usia muda yang tengah melakukan pencarian jati diri,” paparnya.
Arzeti mengatakan perlu ada pemeriksaan mental kepada para dokter di lingkungan PPDS. Sebab dokter merupakan profesi yang berhubungan langsung dengan keselamatan orang.
“Para dokter ini bekerja dengan nyawa pasien sebagai taruhannya. Kalau ternyata suka melakukan bully, bagaimana kita bisa percayakan nasib dan keselamatan pasien karena artinya mereka punya mental sebagai pembully yang tidak baik,” ujar Arzeti.
Arzeti menegaskan, praktik bullying tidak lagi boleh digunakan sebagai pengakuan dari senior kepada junior.
"Bullying itu kan cara kuno atau lama yang biasanya dilakukan di sekolah. Ini kan sudah pada dewasa umurnya juga, harusnya sudah pada matang dari sisi mental tapi kok masih melakukan bullying. Apa tidak malu dengan profesi dokternya," ungkapnya.
BACA JUGA:
Arzeti menilai, kasus Aulia ini harus menjadi momen bersih-bersih dunia pendidikan kedokteran dari tindakan bullying atau praktik-praktik tidak terpuji lainnya. Ia juga mendukung Kemenkes yang memberikan ancaman sanksi tegas bagi pelaku bullying di PPDS, termasuk bagi pihak kampus atau atasan yang diketahui melakukan pembiaran terhadap praktik perundungan.
"Memang harus ada hukuman atau sanksi tegas untuk pelaku bullying maupun yang melakukan pembiaran. Dan pecat jika memang terbukti bersalah. Kalau terus didiamkan, tidak akan selesai masalah tradisi bullying ini,” tutur Arzeti.
Arzeti mengingatkan, seharusnya Pemerintah dapat memberikan kemanan dan kenyamanan bagi peserta PPDS, apalagi dari informasi bukan hanya tekanan mental yang diterima oleh mahasiswa PPDS melainkan juga soal keuangan.
"Ini sudah keterlaluan. Memang di sekolah itu semua bullying terjadi. Padahal seharusnya senior ke junior itu lebih pada ke pembinaan, bukan penekanan mental. Ini kan sangat berbahaya kalau para dokter muda kena trauma," ujar dia.
Arzeti berharap Pemerintah segera melakukan evaluasi internal mulai dari sistem pendidikan hingga mengetahui asal mula bullying itu terjadi. Karena dengan melakukan analisis dari hulu ke hilir, pemutusan rantai bullying bisa dilakukan secara optimal, karena masalah tersebut bisa memberikan dampak serius bagi kesehatan mental seseorang.
"Bullying, terutama di lingkungan profesional seperti pendidikan kedokteran, dapat memiliki dampak yang sangat serius pada kesehatan mental seseorang. Sehingga harus dihilangkan," kata Arzeti.
DPR pun menilai, pemutusan rantai bullying harus dilakukan secara kolaborattif dari semua pihak. Termasuk, kata Arzeti, dengan membentuk tim khusus untuk menangani fenoma bullying ini.
"Diharapkan lingkungan pendidikan kedokteran dapat menjadi lebih aman dan mendukung bagi semua peserta didik. Kalau perlu ada tim khusus dalam melakukan investigasi," imbaunya.
"Agar kedepannya kejadian ini tidak terulang lagi. Dan profesi dokter bersih dari bullying, karena sangat miris sekali kalau semestinya dokter mengobati pasien tapi malah harus sibuk menyembuhkan diri sendiri akibat kena mental," ujar Arzeti.