JAKARTA – Gagasan bahwa mengajarkan dua bahasa dapat menyebabkan kebingungan bahasa bahkan keterlambatan bicara pada anak sudah lama menjadi mitos. Padahal kenyataannya, mengajarkan dua bahasa sejak dini memberikan banyak manfaat bagi anak.
Memiliki anak yang mampu berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa, atau yang lebih dikenal dengan istilah bilingual, adalah impian semua orang tua sekarang ini. Namun tak sedikit orang tua yang masih ragu menerapkan bilingual pada anak.
Di satu sisi, mengenalkan bahasa lain selain bahasa ibu diyakini akan membantu anak lebih fasih berbahasa asing. Namun di sisi lain, keyakinan bahwa mengajari anak dua bahasa sejak dini bisa menyebabkan speech delay terlanjur menyebar di masyarakat.
Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia Prof. DR. Dr. Rini Sekartini Sp.A(K) menyebutkan beberapa manfaat mengajarkan lebih dari satu bahasa kepada anak.
"Kalau banyak mengetahui bahasa mungkin menjadi lebih banyak teman, nantinya dalam berkomunikasi lebih baik, dapat pekerjaan yang lebih bagus dan bisa bekerja di berbagai tempat, dan mungkin bisa lebih mengembangkan kemampuan kognitif maupun kemampuan sosialnya," katanya.
Bahasa dan Interaksi Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam interaksi sosial, komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Komunikasi dan bahasa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena itulah, kemampuan berbahasa perlu diasah sedini mungkin.
Selain bahasa ibu, atau disebut sebagai bahasa pertama, bahasa asing juga dinilai perlu diajarkan sejak dini mengingat pentingnya kemampuan berbahasa asing di era global sekarang. Maka tak heran, banyak orang tua yang mengenalkan dwibahasa kepada anak sejak awal.
Dokter Rini menuturkan, anak-anak yang diajari menggunakan bahasa lain di samping bahasa ibu memiliki beberapa kelebihan, di antaranya dapat menjadi lebih peka dalam memilih penggunaan kata saat menyampaikan penjelasan.
"Kadang-kadang anak lebih peka, misalnya ada beberapa kata Bahasa Indonesia jadi panjang lebih dari tiga kata, tapi kalau Bahasa Inggris hanya satu kata saja sudah bisa menjelaskan keseluruhannya," katanya dalam acara diskusi daring tentang plus minus mengajarkan bilingual pada anak.
Selain itu, Dr. Rini juga menjelaskan, anak yang menguasai lebih dari satu bahasa umumnya lebih fleksibel dan kreatif serta memiliki kemampuan analisis yang baik.
Untuk jangka panjang, anak dengan lebih satu bahasa juga membuka kemungkinan untuk lebih baik dalam berkomunikasi lebih baik, mendapat pekerjaan lebih baik dan bisa bekerja di berbagai tempat.
Namun dalam praktiknya, mengajari dua bahasa atau lebih kepada anak, dibilang Dr. Rini bukan perkara mudah. Untuk itu, ia mendorong orang tua sebaiknya memahami dan menguasa bahasa-bahasa yang akan diajarkan agar komunikasi yang terjalin adalah dua arah.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menerapkan metode one person one language untuk mengajarkan lebih dari satu bahasa kepada anak. Misalnya ibu berkomunikasi dengan bahasa utama, contohnya Bahasa Indonesia, sedangkan ayah berkomunikasi dengan bahasa asing.
Meski memiliki manfaat, mengajarkan dua bahasa sekaligus kepada anak bisa berdampak buruk jika anak dan orang tua tidak benar-benar siap. Menerapkan bilingual berpotensi membuat anak bingung dan memaksa mereka menggunakan dua bahasa dalam satu kalimat.
"Anak-anak kadang-kadang lupa menjawab harus dalam Bahasa Inggris yang dia ingat atau dalam bahasa Indonesia. Jadi, dia mencampur antara Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris," katanya.
Klaim Keliru
Banyak orang yang masih percaya bahwa menerapkan bilingual, yang artinya mereka berbicara dengan lebih dari satu bahasa, berisiko menyebabkan language delay, periode bungkam, yaitu ketika anak sama sekali tak dapat berbicara, bahkan speech delay. Dan, anggapan ini sudah melekat di masyarakat sejak bertahun-tahun lalu.
Keterlambatan berbahasa memang masih bisa terjadi pada anak bilingual, namun menyebut bilingual sebagai penyebabnya adalah klaim yang keliru. Hal ini didukung berbagai penelitian yang membantah klaim tersebut. Menurut para ahli, anak-anak dapat mempelajari dua bahasa dengan kecepatan yang sama seperti anak-anak lain yang hanya mempelajari satu bahasa.
Bilingual bahkan tidak menyebabkan kebingungan atau keterlambatan bicara meski anak tersebut didiagnosis menderita Down Syndrome, Autism Spectrum Disorder atau diagnosis lainnya.
“Penelitian saat ini menunjukkan bahwa berbicara dengan anak-anak dengan diagnosis ini dalam dua bahasa atau lebih tidak mengakibatkan penundaan bahasa dan atau sosial tambahan,” demikian mengutip Nationwide Children’s.
BACA JUGA:
Hal yang sama juga disampaikan Dr. Rini. Ia meluruskan rumor speech delay yang selama ini dikhawatirkan para orang tua, ternyata penyebab utamanya bukan penggunaan dua bahasa atau lebih sejak dini.
“Speech delay penyebabnya banyak. Jangan disalahartikan bahwa speech delay disebabkan bilingual,” ucap Dr. Rini.
Membiarkan anak menonton melalui gawai disebut Dr. Rini menjadi salah satu yang menghambat perkembangan bahasa anak, apalagi jika diberikan pada anak di bawah dua tahun.
Anak di usia tersebut masih belum bisa mencerna bahasa yang ia dapatkan dari menonton. Selain itu, kurangnya stimulasi bahasa dari orang tua juga menjadi faktor penyumbang terhambatnya perkembangan bahasa anak.
“Anak biasanya mengenal bahasa asing melalui YouTube. Dengan YouTube, wawasannya menjadi luas, dia bisa berbagai bahasa tapi belum tentu ada pemahaman. Padahal dalam bilingual, pemahaman harus menjadi hal yang utama,” pungkasnya.