Bagikan:

JAKARTA – Kurang dari dua bulan lagi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi bakal mengakhiri kepemimpinannya di Indonesia. Pada 20 Oktober mendatang, Prabowo Subianto akan menerima tampuk pimpinan, menggantikan Jokowi sebagai Presiden RI usai memenangi Pilpres 2024.

Status sebagai “orang biasa” diyakini menjadi faktor penting, sehingga Jokowi mendapatkan tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI pada 2014. Mantan pengusaha perkayuan itu menjadi Presiden Indonesia pertama yang datang dari luar kalangan elite politik maupun militer.

Ketika pertama kali menjadi Presiden RI, Majalah Time menjuluki Jokowi sebagai “wajah baru demokrasi Indonesia.”

Dalam sepuluh tahun kepemimpinannya, secara kumulatif Indonesia mengalami peningkatan GDP sebesar 43 persen. Pembangunan infrastruktur juga sangat masif. Ada 16 bandara baru dibangun, 18 pelabuhan, 36 bendungan, dan 2000 km lebih jalan tol. IMF bahkan meramalkan Indonesia bakal menjadi kekuatan ekonomi nomor enam dunia, menggeser Rusia dan Inggris.

Presiden Joko Widodo duduk di depan tenda usai memimpin seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (14/3/2022). Presiden Jokowi bersama lima gubernur di Pulau Kalimantan akan bermalam di lokasi titik nol IKN Nusantara.(Antara Foto/HO/Setpres-Agus Suparto)

Jokowi dipuji karena keberhasilannya ini. Dia konsisten dengan ciri khas politiknya, yaitu “blusukan”. Kunjungan dadakan ke masyarakat untuk mengetahui segala problem yang mereka hadapi.

Meskipun terseok-seok di awal kepemimpinannya sebagai Presiden RI, Jokowi mampu menyelesaikan masa jabatan pertama dengan mulus. Bahkan dia mampu memenangi Pilpres 2019 untuk kembali menjadi Presiden RI. Dalam sebuah negara yang nyaris rusak akibat politik dinasti dan perilaku korupsi, Jokowi dianggap sebagai revolusioner oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.

Ironi Masa Jabatan Kedua

Namun kemilau Jokowi perlahan memudar saat memasuki masa jabatan kedua. Kebijakannya memberlakukan hukuman mati bagi pengedar narkoba, banyak dikritik pihak barat dengan mengatasnamakan HAM. Keputusannya mengangkat rival utama dalam Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan juga membuat publik tercengang.

Kemilau Jokowi semakin memudar saat menjelang Pemilu 2024 hingga pelaksanaanya. Meskipun tidak secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Capres Prabowo Subianto, Jokowi jelas mendukung mantan seteru politiknya itu.

Ditambah lagi dengan pemilihan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres pendamping Prabowo. Lengkaplah sudah kecurigaan masyarakat bahwa Jokowi ingin mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, dengan cara membangun politik dinasti.

Presiden Joko Widodo (kanan) meresmikan kereta cepat Jakarta-Bandung di Stasiun Halim, Jakarta, Senin 2 Oktober 2023. Presiden meresmikan kereta cepat Jakarta-Bandung yang dinamakan Whoosh untuk dioperasionalkan secara umum. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Banyak kritikus yang lantas menyebut Jokowi sebagai pembohong, perusak demokrasi. Jokowi disebut sengaja membengkokkan peraturan untuk membangun dinasti politiknya. Sebuah ironi bagi Jokowi, seorang pemimpin yang pernah berkata: “menjadi presiden bukan berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya.”

Bahkan hingga ingar-bingar demonstrasi mahasiswa yang terjadi pada 22 Agustus lalu di berbagai kota besar di Indonesia, semua telunjuk menuju ke Jokowi. Tuduhannya tetap, Jokowi ingin melanggengkan kekuasaan lewat politik dinasti. Setelah Gibran, dia dituding berusaha meloloskan putra bungsunya, Kaesang Pangarep, dalam kontestasi gubernur di Pilkada 2024 yang bakal digelar November mendatang.

Meskipun diterpa bermacam isu dan tuduhan miring. Popularitas Jokowi seakan bergeming. Berdasarkan berbagai survei di banyak lembaga, popularitas Jokowi sebagai pemimpin tetap tinggi. Tingkat dukungan terhadap pria yang lahir dengan nama Mulyono di Surakarta pada 21 Juni 1961 itu masih sangat tinggi. Approval ratings, atau tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masih mencapai lebih dari 70 persen. Bahkan ada lembaga survei yang mendapatkan angka 80 persen!

Pelajaran dari Bangladesh

Lewat tingkat kepuasan pubik yang sangat tinggi itu, tentu saja diharapkan Jokowi mengakhiri masa jabatannya dengan happy ending. Bagi seorang pemimpin politik, happy ending adalah sebuah warisan yang bakal menuai pujian dari generasi ke generasi.

Dibandingkan beberapa pemimpin dunia, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi menjadi salah satu yang tertinggi. Angkanya jauh di atas Lula da Silva (Brasil/50 persen), Emmanuel Macron (Prancis/26 persen), Justin Trudeau (Kanada/40 persen), bahkan Presiden AS, Joe Biden yang hanya mencapai 40 persen.

Pemimpin negara yang mampu menyaingi popularitas Jokowi tak banyak, dua di antara Narendra Modi (India/76 persen) dan Sheikh Hasina (Bangladesh/70 persen). Bedanya, Modi baru melakoni masa jabatan ketiganya sejak dilantik pada 9 Juni lalu sementara Hasina tersingkir pada 5 Agustus. Hasina yang sangat populer tersingkir setelah serangkaian demonstrasi besar melanda Bangladesh.

Perdana Menteri Bangladesh yang terguling pada 5 Agustus 2024, Sheikh Hasina. (Dhaka Tribune)

Hasina tersingkir akibat kebijakannya yang dinilai tidak pro rakyat, dengan memberikan jatah 30 persen lowongan pegawai negeri kepada keluarga pahlawan yang memerdekakan Bangladesh dari Pakistan pada 1971.

Padahal di bawah Hasina, perkonomian Bangladesh membaik. Sektor garmen berperan besar dalam memajukan perekonomian negeri di delta Sungai Gangga dan Brahmaputra itu. Namun kemajuan ekonomi tersebut tidak tersebar merata. Lebih terkonsentrasi di Ibu Kota Dhaka, dan menjadi hak kaum elite yang sangat kaya.

Hasina juga dianggap menjalankan pemerintahan yang otoriter. Tingkat korupsi di negara itu tetap tinggi, selain tentu saja ketimpangan ekonomi. Semua itu berimbas ke akhir kepemimpinan Hasina yang sad ending, menyedihkan. Dia digulingkan, dan kini hidup sebagai pelarian di India. Upayanya memperoleh suaka di Inggris pun belum mendapatkan lampu hijau.