JAKARTA – Terpidana kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Pondok Bambu, Jakarta Timur. Namun pembebasan bersyarat Jessica dipertanyakan banyak orang.
Keputusan pembebasan bersyarat ini diumumkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI Deddy Eduar Eka Saputra. Jessica bebas bersyarat terhitung mulai Minggu, 18 Agustus 2024.
“Warga binaan atas nama Jessica Kumala Wongso mendapatkan PB (pembebasan bersyarat),” ucap Deddy Eduar Eka Saputra.
Nama Jessica Kumala Wongso pertama kali dikenal publik ketika di disebut sebagai tersangka utama pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin di sebuah kafe di Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Saat itu, kasus kematian Mirna menjadi perhatian seantero negeri. Jessica dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Perempuan kelahiran 1988 ini mulai ditahan pada 30 Juni 2016.
Namun belum tuntas masa hukuman, Jessica akhirnya mendapat pembebasan bersyarat pert 10 Agustus 2024 atau setelah menjelani hukuman selama sekitar 8 tahun 1 bulan. Jessica diketahui mendapat remisi 58 bulan 30 hari atau sekitar 4,9 tahun.
Kini, pembebasan bersyarat dan remisi yang didapatkan Jessica menjadi sorotan. Masyarakat menuntut keterbukaan pihak berwenang terkait alasan pemberian remisi kepada Jessica yang dianggap cukup tinggi.
Dasar Remisi Dipertanyakan
Pengamat hukum pidana Masykur Isnan menilai pembebasan bersyarat Jessica Kumala Wongso sudah sejalan dengan undang-undang yang berlaku. Pembebasan bersyarat juga merupakan salah satu bentuk hak yang diterima narapidana.
Masykur Isnan merujuk Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022. Dalam peraturan tersebut, salah dua syarat terpidana boleh mengajukan pembebasan bersyarat adalah, pertama, telah menjalani paling sedikit 2/3 dari masa pidana, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut tidak kurang sembilan bulan. Dan kedua, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling sedikit sembilan bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana.
“Meskipun demikian tetap ada persyaratan lanjutan yakni yang bersangkutan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Timur-Utara dan akan menjalani pembimbingan hingga 27 Maret 2032, dalam hal dilanggar maka pembebasan bersyarat ini dapat dipertimbangkan kembali untuk dicabut,” kata Masykur Isnan kepada VOI.
Merujuk Permenkum HAM tersebut, secara objektif dan normatif Jessica telah memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Namun demikian, melihat skala kasus yang dihadapi Jessica dan vonis hukuman yang dijatuhkan mencapai 20 tahun, remisi 58 bulan 30 hari menjadi pertanyaan.
Pihak Kemenkum HAM menyatakan selama menjalani pidana penjara, Jessica berkelakuan baik sehingga layak mendapatkan remisi. Berkelakuan baik yang dimaksudkan pihak Kemenkum HAM ini menurut banyak kalangan tidak memiliki ukuran yang pasti, seperti tindakan-tindakan apa saja yang masuk dalam ukuran ‘berkelakuan baik’ tersebut. Padahal, penjelasan ini penting karena menjadi acuan bagi narapidana lainnya.
“Total remisi 58 bulan 30 hari yang dinilai cukup tinggi, dasar pemberian remisi menjadi dipertanyakan, belum lagi melihat skala kasus yang menyita perhatian publik dan hukuman pidananya juga tidak kecil, hal ini yang mungkin perlu dikaji dan ditelaah lebih dalam,” ujarnya.
Untuk itu, Masykur Isnan menganggap Ditjen PAS memiliki utang penjelasan kepada publik, hal-hal apa saja yang membuat Jessica mendapatkan pembebasan bersyarat dan remisi yang dinilai cukup tinggi.
“Publik berhak mendapat transparansi dan akuntabilitas pemberian remisi dan pemenuhan syarat lainnya, termasuk berkelakuan baik dan melaksankan program pembinaan,” tegasnya.
“Ini harus dapat dibuktikan ke publik supaya tidak multi tafsir dan subjektif. Perlu diingat, kebijakan hukum ini tentunya membuka ruang bagi narapidana lainnya atas hak yang sama ke depannya, janganlah pembebasan bersyarat ini tidak equal treatment, justice for all,” ucap pemilik Masykur Isnan & Partners Law Firm tersebut.
Menurut Masykur Isnan, pertanyaan ini menjadi hal lumrah dipublik dan harus dijawab segera oleh pihak yang berwenang, jangan sampai mencederai rasa keadilan publik.
Peninjauan Kembali yang Kontradiktif
Hal senada juga dituturkan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, yang menuntut penjelasan mengenai korting 58 bulan 30 hari kepada Jessica. Meski merasa lega dengan pembebasan bersyarat Jessica, Reza tetap mempertanyakan obral remisi yang diterima. Secara matematika, menurut Reza setiap tahun Jessica menerima sekitar 7 bulan lebih potongan masa tahanan.
"Pertanyaannya, seluar biasa apakah kelakuan napi di dalam lapas sehingga bisa mendapat remisi sedemikian besar? Berada di dalam lingkungan dengan segala pembatasan sedemikian rupa, napi perlu bertabiat seistimewa apa agar dinilai layak keluar lapas?" ujar Reza.
Hal lainnya yang menjadi perhatian masyarakat adalah pernyataan pihak Jessica yang akan mengajukan peninjauan kembali atau PK. Seperti diketahui, seusai mendapat pembebasan bersyarat, Jessica Kumala Wongso melalui pengacaranya, Otto Hasibuan menegaskan pihaknya akan mengajukan permohoan PK ke Mahkamah Agung (MA) berkaitan dengan kasus yang menjerat kliennya.
Menurut Otto, putusan terhadap Jessica tidak sesuai dengan fakta yang mereka yakini. Ia juga menyebut pihaknya memiliki novum atau bukti baru yang bisa mengubah penilaian hakim.
BACA JUGA:
"Ya terus terang aja kami memiliki novum (bukti baru) untuk perkara ini, berbeda dengan yang dulu sekarang ini justru kami menemukan novum," papar Otto.
Masykur Isnan menyebut, upaya PK yang akan diajukan oleh pihak Jessica Kumala Wongso adalah hal yang ‘menarik’ dan dapat dinilai agak kontradiktif. Dengan pengajuan PK tersebut, hadiah resmi dan pembebasan bersyarat menjadi percuma.
“Meskipun ini (PK) adalah hak yang bersangkutan, namun dapat dinilai agak kontradiktif. Pembebasan bersyarat telah diterima tapi terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut kembali digugat, sehingga agak percuma hadiah remisi dan pemberian bebas bersyarat ini,” katanya.