Bagikan:

JAKARTA – Masyarakat ramai-ramai mengajak Cut Intan Nabila untuk tidak menoleransi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan psikolog klinis Olphi Disya Arinda menyebut KDRT bukanlah ujian dalam sebuah pernikahan.

Dalam tiga hari ke belakang nama selebgram Cut Intan Nabila menjadi buah bibir. Penyebabnya adalah ia membongkar KDRT yang dilakukan suaminya sendiri, Armor Toreador.

Pada Selasa (13/8/2024) Intan mengunggah video rekaman closed-circuit television (CCTV) di akun Instagram miliknya. Dalam video tersebut terlihat mantan atlet anggar ini mengalami kekerasan fisik dari sang suami. Bayi mereka yang usianya kurang dari satu bulan pun ikut menjadi korban.

Selebgram Cut Intan Nabila menjadi korban KDRT oleh suaminya sendiri. Ia mengunggah sebuah video rekaman CCTV saat terjadi tindakan KDRT. (Instagram/@cut.intannabila)

Polres Bogor telah menahan suami Cut Intan Nabila, Armor Toreador di hari yang sama setelah vidio unggahan penyiksaan yang dialami Intan viral.

Atas tindakannya tersebut, Amor dijerat pasal berlapis. Yakni: Pasal 44 Ayat (2)  Undang-Undang tentang Penghapusan KDRT dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda Rp30 juta. Kemudian Pasal 80 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun 8 bulan atau denda Rp72 juta. Lalu pasal penganiayaan yakni Pasal 351 KUHP, ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara  atau denda paling banyak Rp72 juta.

Menoleransi KDRT karena Dianggap Aib 

Intan mendapat banyak sekali dukungan, sementara sebaliknya, Armor dihujani cacian warganet buntut viralnya video yang diunggah sang selebgram. Dalam unggahan tersebut, ia mengaku menyimpan puluhan video lain sebagai bukti KDRT yang dialaminya.

Tak hanya itu, ibu tiga anak ini juga mengatakan bahwa dirinya korban perselingkuhan selama lima tahun pernikahannya dengan Armor.

Kekerasan dalam rumah tangga, baik itu secara fisik maupun psikis, hampir pasti meninggalkan trauma pada korbannya. Namun tak sedikit korban KDRT yang memilih menutup rapat-rapat masalah ini, karena speak up mengenai apa yang dialami seringkali dianggap sebagai mengumbar aib rumah tangga.

Armor Toreador jadi tersangka penganiayaan terhadap istri. (Istimewa)

Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejak 2001 KDRT terus menjadi data tertinggi yang dilaporkan.

Dalam laporan 21 tahun catatan tahunan Komnas Perempuan, tercatat ada 2,5 juta kekerasan  di ranah personal. Di antaranya andalah kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 484.993 kasus. Jenis kekerasan tersebut merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan. Lalu, kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang dilakukan oleh anggota keluarga sebanyak 17.097 kasus. Jenis kasus ini, menempati urutan ketiga yang paling banyak dilaporkan.

Dalam kasus KDRT yang dialami Intan, kepada polisi Armor mengaku telah melakukan lebih dari lima kekerasan terhitung sejak 2020 atau sejak mereka dikaruniai anak pertama.

Jadi Faktor Penyebab Trauma

Intan bukan satu-satunya dan bahkan mungkin bukan orang terakhir yang mengalami KDRT. Dari sekian banyak kasus, tak sedikit korban memilih bungkam. Selain dianggap sebagai sebuah aib yang wajib ditutupi, KDRT juga sering dianggap sebagai ujian pernikahan.

Itulah sebabnya, masih banyak pihak yang menoleransi tindakan KDRT yang dilakukan oleh pasangan, sambil berharap dapat melewati ujian tersebut.

Namun menurut psikolog klinis Olphi Disya Arinda, kekerasan bukanlah bentuk ujian dalam membina rumah tangga, melainkan red flags atau sinyal bahwa sebuah hubungan tidak sehat. Menurutnya, ujian pernikahan dan red flags adalah dua hal berbeda.

Red flags itu semacam peringatan bahwa pernikahannya sudah gak sehat, misal KDRT, selingkuh, pengabaian, dan adiksi,” tulis Disya di akun Instagram-nya.

“Kalau ujian pernikahan itu semacam tantangan yang perlu dihadapi bersama sebagai tim. Misal suami di-PHK, istri bantu perekonomian. Atau istri sakit dan suami setia menemani. Atau ada kendala infertilitas,” sambungnya.

Disya menambahkan, ujian pernikahan seringkali terjadi karena faktor eksternal di luar kontrol manusia, bukan sesuatu yang terjadi secara sengaja. Sehingga ketika ujian menghampiri, maka permasalahan dapat dihadapi bersama, bukan malah salah satu membuat masalah dan pasangannya menjadi sengsara.

“Jadi KDRT, selingkuh, pengabaian, dan adiksi adalah faktor penyebab trauma, bukan ujian rumah tangga,” tegasnya.

Pengabaian adalah KDRT

Menurut Komnas Perempuan, KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.

Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.

Menurut sejumlah sumber, ada beberapa jenis KDRT, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan pengabaian.

Pengabaian dalam pernikahan menurut Disya bisa berbagai bentuk, tapi umumnya terbagi menjadi tiga yakni fisik, emosional, dan finansial.

Banyak korban KDRT memilih bungkam karena menganggap hal ini adalah aib yang harus ditutupi. (Unsplash/Sydney Sims)

Disya menjelaskan pengabaian fisik seperti ditinggalkan tanpa alasan yang jelas, tidak pernah hadir, pergi tanpa izin, atau menghindari bertemu pasangan dan/atau anaknya. Sedangkan pengbaian emosional adalah, meski secara raga tidak berjauhan tapi dalam hubungan rumah tangga itu tidak ada perasaan saling peduli, perhatian, dan masing-masing sibuk sendiri.

Terakhir, pengabaian finansial yaitu tidak menafkahi secara materi padahal mampu atau dengan kata lain tidak memenuhi kebutuhan primer.

“Mengapa ini menurut saya bukan ujian pernikahan tapi red flags? Karena salah satu pihak memilih untuk melakukannya sehingga membuat pasangannya merasa invisible (tidak dianggap) dan forgotten (terlupakan),” terangnya.