JAKARTA – Pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Minggu (11/8/2024) menimbulkan berbagai spekulasi. Bahkan nama Presiden Joko Widodo kembali dihubung-hubungkan dengan peristiwa politik yang cukup menggemparkan ini.
Airlangga tak lagi menjabat sebagai ketua partai berlambang beringin itu sejak Sabtu (10/8), meski video pengunduran dirinya baru beredar sehari kemudian.
Di tengah riuhnya pengunduran diri Airlangga secara mendadak, berbagai spekulasi menyeruak. Namun mata publik tertuju pada Jokowi. Adanya pertemuan antara Jokowi dan Airlangga di Istana Kepresidenan sehari sebelum pengunduran dirinya memperkuat cocoklogi publik soal dugaan adanya campur tangan sang presiden dalam peristiwa ini.
Meski kemudian klaim tersebut dibantah pihak Istana, seperti yang disampaikan Koordinator Stafsus Presiden, Ari Dwipayana.
“Pengunduran diri Bapak Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar adalah pilihan atau hak pribadi beliau yang selanjutnya sepenuhnya menjadi urusan internal Partai Golkar. Jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan Presiden,” kata Ari.
Butuh Kendaraan Politik Baru
Rumor mengenai ambisi Jokowi masuk ke Golkar sebenarnya sudah berembus sejak beberapa bulan terakhir, meski memang tidak sekencang pasca-pengunduran diri Airlangga.
Eks Gubernur DKI Jakarta ini butuh kendaraan politik baru setelah masa kepemimpinannya berakhir pada Oktober 2024. Dalam beberapa kesempatan Jokowi memang berkata akan kembali menjadi rakyat biasa dan pulang ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah.
Tapi publik sepertinya kadung tak percaya dengan pernyataan Jokowi. Kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, jika Jokowi bilang “tidak” maka artinya “ya” dan sebaliknya.
Kembali bicara tentang kendaraan politik baru. Jokowi membutuhkan itu karena masih ada kepentingan yang belum tuntas di dua periode kepemimpinan sekaligus melindungi karier politik anak-anaknya, menurut beberapa analis politik.
Hubungannya dengan PDIP yang panas dingin sejak sebelum Pemilihan Presiden 2024 memaksa Jokowi harus mencari kendaraan politik baru yang kemudian mengarah kepada Partai Golkar.
Tapi bukan hal gampang menduduki posisi strategis di partai yang punya banyak faksi dan elite politik yang berpengaruh di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, Golkar juga memiliki aturan internal yang ajeg.
Merujuk pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar mengatur bahwa syarat menjadi ketua umum di antaranya pernah menjadi pengurus Golkar tingkat pusat atau organisasi pendiri atau yang didirikan Golkar setidaknya satu periode dan didukung minimal 30 persen pemilik suara.
Kemudian, aktif sebagai anggota Partai Golkar setidaknya lima tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai politik lain. Calon ketua umum juga disyaratkan pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan kader Golkar.
Tapi, apa sih yang tidak mungkin bagi Jokowi? Kalau aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden saja bisa ‘disesuaikan’ apalagi sekadar aturan internal partai.
Prabowo Terkena Imbas
Rapat pleno pada Selasa malam, 13 Agustus, menunjuk Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketum Golkar.
Penunjukkan Agus Gumiwang sebagai Plt sebenarnya adalah sesuatu yang juga sudah diprediksi. Mencuat anggapan Agus Gumiwang adalah jembatan masuknya sebuah kekuatan besar ke dalam Golkar. Yang dimaksud kekuatan besar ini disebut-sebut Presiden Jokowi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Skenario seperti ini ditebak juga oleh pakar ilmu politik Ikrar Nusa Bhakti. Ia menduga pengunduran diri Airlangga ada intervensi atau cawe-cawe politik dari kekuatan di atasnya.
Sebelum digelar rapat pleno, ia menyebut jika teryata Agus Gumiwang Kartasasmita ditunjuk sebagai Plt Partai Golkar dan menyusun Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada Agustus ini, maka hal tersebut merupakan kesalahan besar yang dilakukan oleh partai Golkar.
"Kalau kemudian nanti ternyata Bahlil Lahadalia itu kemudian benar terpilih menjadi Ketua Partai Golkar, itu lagi-lagi kesalahan besar bagi partai Golkar," kata Ikrar.
"Dan kemudian problem politik yang terjadi dalam partai Golkar itu ternyata disetujui oleh Prabowo Subianto, berarti Prabowo Subianto itu menggali kuburnya sendiri. Karena dia tidak akan menjadi presiden terpilih, dan kemudian yang sebenar-benarnya presiden setelah dilantik," sambungnya.
Sebagaimana hasil keputusan rapat pleno, Partai Golkar akan menghelat Munaslub pada 20 Agustus untuk memilih ketua umum definitif. Agus menegaskan ia tidak maju dalam pencalonan tersebut, tanpa merinci alasannya. Beberapa nama disebut sebagai kandidat kuat menggantikan Airlangga, yakni Bahlil Lahadalia, Joko Widodo, bahkan Gibran Rakabuming Raka.
Meski begitu, pengamat menilai Jokowi tidak akan berani menerabas aturan internal partai untuk kemudian maju sebagai kandidat Ketum Golkar. Selain terlalu mencolok, ada hitung-hitungan yang membikin eks Wali Kota Solo ini tak mau ambil risiko sehingga akan memilih memajukan sosok lain.
Sehingga opsi yang realitis dan bisa menjadi jalan tengah jika benar Jokowi ingin masuk ke Golkar adalah memilih ketum definitif yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Jokowi.
“Pilihannya adalah menggunakan proksi. Artinya bukan dia yang bertarung dalam pemilihan Ketum Golkar, tapi lewat ‘bonekanya’ untuk maju. Selain itu, Jokowi berhitung, Golkar juga partai besar, partai tertua di Indonesia saat ini, punya tradisi kuat. Bisa jadi lewat Bahlil,” jelas Ikrar.
BACA JUGA:
Andai itu benar terjadi, maka Prabowo Subianto akan terkena imbasnya. Bagi Prabowo, suka tidak suka, menurut Ikrar dia membuka peran politik ada matahari kembar.
“Kalau ada matahari kembar, siapa yang jadi panutan atau dapatkan dukungan dari masyarakat? Jokowi atau Prabowo? Jokowi paling pintar lakukan politik pencitraan,” pungkasnya.
Ikrar menambahkan, kalau Munaslub terjadi sebelum periode Jokowi berakhir, bukan tak mungkin Jokowi benar-benar lakukan kudeta politik dan mengakuisisi Partai Golkar tanpa keluar duit banyak.