Bagikan:

JAKARTA - Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Effendi Gazali menyebut ada dewa yang menguasai kuota pengadaan bantuan sosial (bansos). 

Hal ini disampaikannya usai diperiksa penyidik KPK terkait suap pengadaan bansos COVID-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.

Dewa yang dimaksud adalah perusahaan besar yang mengambil jatah dalam kuota pengadaan tersebut. Hal ini, diketahuinya, dari sebuah fasilitator dalam seminar riset terkait bantuan sosial yang digelar pada 23 Juli yang lalu. 

“Di situ (pertemuan, red) poinnya kami menyampaikan supaya jangan dimakan semua oleh dewa-dewa tapi yang kecil-kecil ini, UMKM juga dapat dan mereka jangan mau memberikan apa-apa yang kecil-kecil ini, UMKM,” kata Effendi kepada wartawan usai diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 25 Maret.

Hanya saja, saat disinggung terkait siapa dewa yang dimaksud dia enggan membeberkannya. Effendi hanya meminta KPK bertindak adil dan memanggil mereka semua, karena dirinya sudah menyampaikan ke penyidik.

“Saya kan sudah dipanggil nih, kalau KPK benar-benar tegakkan keadilan yang besar-besar kapan nih dipanggil,” ungkapnya.

“Saya sudah datang, memenuhi panggilan walaupun kemarin cuma di WA. Nah, yang besar-besar ini kapan nih dipanggilnya,” imbuh Effendi.

Diberitakan sebelumnya, KPK saat ini terus melakukan pengusutan terhadap aliran uang dari vendor ke Kemensos terkait pengadaan bansos COVID-19.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk mantan Mensos Juliari.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.

Kasus ini berawal ketika Juliari menunjuk dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi dalam pelaksanaan proyek ini dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.

KPK menduga disepakati adanya fee dari paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial. Adapun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.

Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus dan penunjukannya diketahui Juliari.

Pada pendistribusian bansos tahap pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar. Matheus memberikan sekitar Rp 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Saat melakukan OTT dalam perkara ini, KPK juga menyita barang bukti berupa uang yang sudah disiapkan dari pemberi suap yakni AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung. Uang Rp14,5 miliar disimpan di sejumlah koper dan tas serta terdiri dari pecahan rupiah dan uang asing.