JAKARTA - Pengamat komunikasi Effendi Ghazali memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diperiksa sebagai saksi dalam perkara suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 di Jabodetabek.
Sebelum menjalani pemeriksaan, Effendi menyebut dirinya menerima pemanggilan tersebut dari pesan WhatsApp sekitar pukul 19.41 WIB. Hanya saja, hingga saat ini dia belum menerima surat pemanggilan secara resmi.
Lebih lanjut, dia juga mengaku bingung karena diminta untuk membawa rekening perusahaan. Permintaan ini disampaikan oleh penyidik KPK.
“Pertanyaan yang menarik adalah surat panggilan KPK itu isinya harap membawa rekening perusahaan sejak 1 Januari 2020 dan PO bansos Kemensos. Saya ambil rekening siapa? Dari perusahaan mana,” kata Effendi kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 25 Maret.
Selanjutnya, dia juga membantah terlibat dalam kasus ini dan meminta KPK melakukan konfrontasi terhadap perusahaan yang dimaksud.
“Mengenai ada PT atau CV itu saya katakan, saya tidak kenal. Dan lebih gampang panggil aja PT atau CVnya. Panggil dan konfrontasi ke saya apakah dia memang dapat ke situ, kapan dikasih, dan kemudian apa urusan dengan saya,” tegasnya.
BACA JUGA:
Pernyataan Effendi ini kemudian dijawab oleh Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri. Kata dia, siapapun pihak yang dipanggil oleh penyidik sebagai saksi tentu dianggap mengetahui kasus yang tengah diusut.
“Seseorang dipanggil sebagai saksi tentu karena keterangan saksi dibutuhkan dalam rangka memperjelas rangkaian perbuatan para tersangka,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk Sebelumnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk mantan Mensos Juliari.
Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.
Kasus ini berawal ketika Juliari menunjuk dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi dalam pelaksanaan proyek ini dengan cara penunjukkan langsung para rekanan. KPK menduga disepakati adanya fee dari paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial. Adapun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.
Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus dan penunjukannya diketahui Juliari.
Pada pendistribusian bansos tahap pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar. Matheus memberikan sekitar Rp 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Saat melakukan OTT dalam perkara ini, KPK juga menyita barang bukti berupa uang yang sudah disiapkan dari pemberi suap yakni AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung. Uang Rp14,5 miliar disimpan di sejumlah koper dan tas serta terdiri dari pecahan rupiah dan uang asing.