Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan sistem pembayaran bank garansi dalam kasus dugaan suap ekspor benur atau benih lobster masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Sebab, sistem ini tidak memiliki dasar hukum.

“Dalam klausul pernyataan eksportir, bahwa barang ini memang tidak ada (aturan hukum, red), akhirnya (menunggu, red) peraturan presiden yang baru. Dia (eksportir, red) siap dengan sukarela hibah ke negara,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Rabu, 24 Maret.

“Artinya, secara hukum memang tidak boleh. Harus ada aturan dulu baru ada pungutan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, kalaupun uang senilai Rp52,3 miliar ini untuk PNPB, Karyoto mengatakan, uang ini tidak bisa masuk ke kas negara. Sebab, belum ada aturan yang mengikat agar pemerintah bisa melakukan pencairan uang yang ada di sana.

“Sehingga ini disita lalu kemudian dirampas kepada negara,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, pada Senin, 15 Maret, penyidik KPK melakukan penyitaan uang senilai Rp52,3 miliar yang diduga sebagai jaminan dalam bank garansi. Selain itu,  KPK telah memeriksa sejumlah saksi termasuk Irjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf pada Rabu, 17 Maret kemarin terkait hal tersebut.

Usai diperiksa, dia mengatakan uang senilai Rp53,2 miliar yang disita dari Bank Garansi tak terkait dugaan suap ekspor benur atau benih lobster. Selain itu, dia juga menyebut uang yang diduga KPK terkait suap benur tak melanggar hukum. 

"Tidak ada yang dilanggar," kata Yusuf kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

Yusuf mengklaim KKP belum memanfaatkan uang di Bank Garansi. Alasannya, saat itu, KPK keburu menangkap Edhy Prabowo dan anak buahnya sepulang lawatan dari Hawaii, Amerika Serika.

"Tolong dipahami bahwa Bank Garansi itu belum menjadi haknya KKP. Belum menjadi hak siapapun juga. Masih hak terbuka Bank Garansinya. Itu ceritanya," ujarnya.