Menunggu KPK Bacakan Dakwaan Terhadap Edhy Prabowo Terkait Suap Izin Ekspor Benur
Arsip - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Foto: Reno Esnir/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo bakal menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan pada hari ini, Kamis, 15 April. Dia bakal disidang setelah menjadi penerima suap terkait izin ekspor benih lobster atau benur.

"Sidang pertama pada Kamis, 15 April," kata Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bambang Nurcahyono pada beberapa waktu yang lalu lewat keterangan tertulisnya.

Selain Edhy, ada lima terdakwa lain yang akan menjalani sidang pembacaan dakwaan. Mereka adalah sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin; pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Edhy, Ainul Faqih. Ketiga terdakwa tersebut diadili dalam satu berkas perkara nomor: 28/Pid.Sus.TPK/2021.

Sementara salah satu staf khusus Edhy yaitu Andreau Misanta Pribadi dan Safri bakal diadili dalam berkas nomor: 27/Pid.Sus.TPK/2021.

Para terdakwa didakwa dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Lalu bagaimana kasus suap izin ekspor ini bermula?

Edhy menjadi menteri pertama di Kabinet Indonesia Maju yang ditangkap oleh KPK. Dia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten setibanya dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat usai melakukan kunjungan kerja pada 25 November.

Saat itu tim komisi antirasuah menangkap 17 orang termasuk istri Edhy yang juga anggota DPR RI Komisi V Iis Rosita Dewi. 

Setelah menjalankan pemeriksaan intensif, Edhy dan enam orang lainnya yaitu Stafsus Menteri KP Safri dan Andreau Pribadi Misata; pengurus PT Aero Citra Kargo Siswandi; staf istri Edhy, Ainul Faqih; Amiril Mukminin; dan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait ekspor benur atau benih lobster. 

Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang suap terkait izin ekspor benih lobster mencapai Rp9,8 miliar. Uang ini bahkan disebut sempat digunakan untuk berbelanja berbagai barang mewah seperti jam tangan merk Rolex, tas koper Tumi dan Luis Vuitton, tas Hermes, jam Jacob n Co, hingga baju dan sepeda jenis roadbike.

Kasus ini kemudian memasuki sejumlah babak baru, termasuk terkuaknya bank garansi yang disebut jadi modus untuk menampung uang dari para eksportir benur atau benih lobster. Sebab, sistem ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

“Dalam klausul pernyataan eksportir, bahwa barang ini memang tidak ada (aturan hukum, red), akhirnya (menunggu, red) peraturan presiden yang baru. Dia (eksportir, red) siap dengan sukarela hibah ke negara,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Rabu, 24 Maret.

“Artinya, secara hukum memang tidak boleh. Harus ada aturan dulu baru ada pungutan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, kalaupun uang senilai Rp52,3 miliar ini untuk PNPB, Karyoto mengatakan, uang ini tidak bisa masuk ke kas negara. Sebab, belum ada aturan yang mengikat agar pemerintah bisa melakukan pencairan uang yang ada di sana.

“Sehingga ini disita lalu kemudian dirampas kepada negara,” tegasnya.

Perihal bank garansi ini, KPK menduga saat Edhy Prabowo menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dia memerintahkan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar untuk membuat surat perintah tertulis.

Surat ini berkaitan dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Selanjutnya, Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut.

Hanya saja, belakangan diketahui, aturan penyerahan jaminan bank tersebut sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih lobster tersebut ternyata tidak pernah ada.

Kontroversi di kasus suap benur

Pengusutan kasus ini juga mendapat sorotan. Apalagi, setelah KPK menyebut tak perlu lagi melakukan pemeriksaan terhadap Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar dan Irjen KKP Muhammad Yusuf meski keduanya mengetahui tentang bank garansi.

Adapun alasan KPK tak lagi memanggil keduanya adalah karena aliran duit dalam kasus yang menjerat Edhy dan sejumlah anak buahnya sudah jelas.

Sorotan ini datang dari peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Dia mempertanyakan alasan KPK yang merasa tak perlu lagi memanggil keduanya.

“ICW curiga pernyataan Deputi Penindakan itu tak mewakili sikap para penyidik KPK melainkan keinginan pribadi yang enggan memeriksa pihak-pihak tertentu dalam hal ini termasuk Sekjen KKP Antam Novambar,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 25 Maret.

Kecurigaan ini muncul setelah pernyataan Karyoto berbeda dengan pernyataan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri. 

Saat itu, kata Kurnia, Ali pernah menyatakan mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo pernah memerintahkan pembuatan surat perintah tertulis terhadap Antam terkait bank garansi.

Karena itu, ICW menilai mantan Wakabareskrim Polri itu mengetahui duduk soal terkait kasus. Antam menurut ICW harusnya diperiksa penyidik.

“Lagipula ucapan Deputi Penindakan itu seolah-olah ingin menegaskan fakta bahwa Antam sebenarnya telah dikirim surat panggilan sebagai saksi beberapa waktu lalu oleh KPK,” ungkapnya.

Selain itu, ICW juga menyebut janggal bila KPK tak memeriksa pihak-pihak yang diduga terkait dengan barang sitaan. Barang yang dimaksud adalah uang dari bank garansi sebesar Rp52,3 miliar yang berasal dari para eksportir benur atau benih lobster.

“Untuk itu, ICW mendorong agar pimpinan KPK menegur Deputi Penindakan karena mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan kerja penyidik KPK,” tegasnya waktu itu.