Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bank garansi dalam perizinan ekspor benih lobster yang dibuat oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo tak ada dasar hukumnya.

Komisi antirasuah bahkan mengatakan ini jadi jalan bagi Edhy dan anak buahnya mengeruk keuntungan dari para eksportir.

“KPK memandang bahwa bank garansi dengan alasan pemasukan bagi negara melalui PNBP dimaksud juga tidak memiliki dasar aturan sama sekali,” kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri lewat keterangan tertulisnya, Selasa, 23 Maret.

Tiap pungutan negara, sambungnya, harus memiliki landasan hukum yang jelas. Ali juga menegaskan, KPK sudah memiliki alat bukti yang menjelaskan keberadaan bank garansi ini telah menyalahi aturan.

Lebih lanjut, dia memaparkan bank garansi adalah bagian dari konstruksi perkara ini secara utuh dimana eksportir yang ingin dapat izin ekspor benih lobster diduga menyetorkan uang kepada tersangka Edhy Prabowo.

Kata Ali, uang tersebut diberikan melalui pihak lain dan kemudian juga bersepakat bahwa pengiriman ekspor benur dimaksud hanya melalui PT Aero Citra Kargo (ACK). Adapun perusahaan itu merupakan satu-satunya forwarder kegiatan ekspor benih lobster.

"Disamping itu ternyata para eksportir ada kewajiban pula menyerahkan bank garansi dimaksud," tegasnya.

Ali mengungkapkan, PT ACK didirikan dengan pengurus terdiri dari orang-orang kepercayaan tersangka Edhy Prabowo. Dia melanjutkan, PT ACK juga diduga tidak melakukan pengiriman ekspor benur namun dilakukan pihak lain yaitu PT PLI dengan biaya jauh lebih murah.

"Sehingga selisih harga tersebut kemudian diperhitungkan sebagai ‘keuntungan' yang diduga dimanfaatkan untuk keperluan pribadi EP dan tersangka lainnya,” jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, Senin, 15 Maret kemarin, KPK melakukan penyitaan terhadap uang senilai Rp52,3 miliar yang diduga sebagai Bank Garansi.

KPK menduga, saat itu Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan memerintahkan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar untuk membuat surat perintah tertulis.

KPK menyebut surat ini berkaitan dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Selanjutnya, Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut.

Hanya saja, belakangan diketahui, aturan penyerahan jaminan bank tersebut sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih lobster tersebut ternyata tidak pernah ada.

Adapun dalam kasus suap ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).

Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Dari uang ini, selanjutnya Edhy, menerima uang Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluannya dan istrinya yaitu Iis Rosyita Dewi, dan dua stafnya yaitu Safri dan Andreau Misanta Pribadi.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.

Selanjutnya, uang ini dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istri-nya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, sepeda roadbike, dan baju Old Navy.