Irjen KKP Muhammad Yusuf Sebut Uang Rp53,2 Miliar di Bank Garansi Tak Langgar Hukum
Penampakan uang sitaan KPK dari kasus Edhy Prabowo (Foto: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Yusuf menyebut uang senilai Rp53,2 miliar yang disita dari Bank Garansi tak terkait dugaan suap ekspor benur atau benih lobster.

Selain itu, dia juga menyebut uang yang diduga KPK terkait suap benur tak melanggar hukum. "Tidak ada yang dilanggar," kata Yusuf kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Maret.

Dia memaparkan asal uang yang disita KPK. Uang tersebut ada karea awalnya ada larangan penangkapan benih lobster sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster.

Menurutnya, aturan larangan penangkapan benih lobster yang diterbitkan oleh mantan Menteri Kelautan dan Kelautan Susi Pudjiastuti mencekik para nelayan lobster. Tak hanya itu, Yusuf juga menyebut, persediaan lobster juga melimpah di lautan.

"Di laut itu melimpah, kemudian survei rate-nya cuma 0,01 persen. Kalau enggak ditangkap, enggak diambil akan mubazir. Mati dia," ungkapnya.

Melihat kondisi ini, KKP tidak bisa membiarkan benih lobster yang melimpah tak dimanfaatkan. Selain itu, akibat pandemi COVID-19 nelayan juga perlu mencari nafkah sehingga kementerian ini membuat aturan tentang ekspor benih lobster.

"Asumsi kemudian, kita juga memberikan harga minimum, minimal kepada eksportir membeli daripada nelayan itu," ujarnya.

Hal inilah yang melandasi KKP memberikan harga Rp5 ribu untuk satu benih lobster jenis pasir. Lalu, Rp10 ribu untuk jenis benih lobster jenis nikel.

Dengan aturan ini juga, eksportir benur akhirnya bisa melakukan penjualan ke Vietnam dengan aturan tersebut. Tapi, ketika hal ini dilakukan, negara justru tidak mendapatkan keuntungan apapun.

Sehingga, KKP meminta Kementerian Keuangan untuk membuat regulasi yang membantu Permen Nomor 12 Tahun 2020. Aturan yang dikeluarkan terkait dengan adanya biaya khusus untuk mengeskpor benih lobster.

"Oleh Kementerian (Keuangan, red) digabung menjadi PNBP (penerimaan negara bukan pajak)," jelas Yusuf.

Hanya saja, aturan tentang PNPB ekspor benih lobster belum keluar. Karena, pemerintah mengutamakan aturan soal UU Cipta Kerja.

KKP, sambung Yusuf, juga belum menerima keuntungan apapun. Hanya saja, para eksportir membuat janji untuk memberikan jaminan dan hal inilah yang menjadikan Bank Garansi sebagai jaminan.

Lebih lanjut, dirinya kemudian mengklaim KKP belum memanfaatkan uang di Bank Garansi. Alasannya, saat itu, KPK keburu menangkap Edhy Prabowo dan anak buahnya sepulang lawatan dari Hawaii, Amerika Serika.

"Tolong dipahami bahwa Bank Garansi itu belum menjadi haknya KKP. Belum menjadi hak siapappun juga. Masih hak terbuka Bank Garansinya. Itu ceritanya," kata dia.

Diberitakan sebelumnya, pada Senin, 15 Maret kemarin, penyidik KPK melakukan penyitaan uang senilai Rp52,3 miliar yang diduga sebagai Bank Garansi.

Komisi antirasuah menduga, saat itu Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan memerintahkan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar untuk membuat surat perintah tertulis.

KPK menyebut, surat ini berkaitan dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Selanjutnya, Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut.

Hanya saja, belakangan diketahui, aturan penyerahan jaminan bank tersebut sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih lobster tersebut ternyata tidak pernah ada.

Adapun dalam kasus suap ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).

Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Dari uang ini, selanjutnya Edhy, menerima uang Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluannya dan istrinya yaitu Iis Rosyita Dewi, dan dua stafnya yaitu Safri dan Andreau Misanta Pribadi. Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.

Selanjutnya, uang ini dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istri-nya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, sepeda roadbike, dan baju Old Navy.