Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut tak perlu lagi melakukan pemeriksaan terhadap Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar dan Irjen KKP Muhammad Yusuf dalam kasus suap izin ekspor benur atau benih lobster. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mempertanyakan argumentasi yang disampaikan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto tersebut. Tak hanya itu dia juga curiga dengan sikap Karyoto, bukan sikap yang disepakati penyidik dalam mengusut kasus ini.

“ICW curiga pernyataan Deputi Penindakan itu tak mewakili sikap para penyidik KPK melainkan keinginan pribadi yang enggan memeriksa pihak-pihak tertentu dalam hal ini termasuk Sekjen KKP Antam Novambar,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 25 Maret.

Kecurigaan ini muncul setelah pernyataan Karyoto berbeda dengan pernyataan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri

Saat itu, kata Kurnia, Ali pernah menyatakan mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo pernah memerintahkan pembuatan surat perintah tertulis terhadap Antam terkait bank garansi.

Karena itu, ICW menilai mantan Wakabareskrim Polri itu mengetahui duduk soal terkait kasus. Antam menurut ICW harusnya diperiksa penyidik.

“Lagipula ucapan Deputi Penindakan itu seolah-olah ingin menegaskan fakta bahwa Antam sebenarnya telah dikirim surat panggilan sebagai saksi beberapa waktu lalu oleh KPK,” ungkapnya.

Selain itu, ICW juga menyebut janggal bila KPK tak memeriksa pihak-pihak yang diduga terkait dengan barang sitaan. Barang yang dimaksud adalah uang dari bank garansi sebesar Rp52,3 miliar yang berasal dari para eksportir benur atau benih lobster.

“Untuk itu, ICW mendorong agar pimpinan KPK menegur Deputi Penindakan karena mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan kerja penyidik KPK,” tegasnya.

Alasan KPK tak Panggil Sekjen KKP

Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto sebelumnya telah menjelaskan alasan penyidik tak perlu lagi memanggil Antam yang pernah tak hadir dalam pemeriksaan karena sedang bertugas di luar kota.

"Sebenarnya enggak perlu panggil (lagi, red) Irjen (Irjen KKP Muhammad Yusuf) dan Sekjen (Sekjen KKP Antam Novambar)," kata Deputi Penindakan dan Penuntutan KPK Karyoto dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Rabu, 24 Maret.

Kedua pejabat KKP itu, sambung Karyoto, tak lagi perlu diperiksa karena aliran duit dalam kasus tersebut sudah jelas.

Selain itu, penyidik sudah mengantongi bukti yang cukup terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Apalagi, berkas para tersangka dalam kasus suap benur sudah diserahkan ke jaksa penuntut umum (JPU).

"Hari ini sudah P21 (tahap II, penyerahan tersangka Edhy Prabowo dan barang bukti) ke JPU untuk segera disidangkan," ujarnya.

Adapun alasan KPK saat itu memanggil Antam karena kaitannya dengan bank garansi yang diduga jadi cara penyerahan uang dari eksportir benur ke Edhy Prabowo.

KPK menduga, saat itu Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan memerintahkan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar untuk membuat surat perintah tertulis.

KPK menyebut surat ini berkaitan dengan penarikan jaminan bank dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Selanjutnya, Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut.

Hanya saja, aturan penyerahan jaminan bank tersebut sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih lobster tersebut ternyata tidak pernah ada.

Terkait bank garansi ini, KPK juga sudah menegaskan hal ini masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Sebab, sistem ini tidak memiliki dasar hukum.

“Dalam klausul pernyataan eksportir, bahwa barang ini memang tidak ada (aturan hukum, red), akhirnya (menunggu, red) peraturan presiden yang baru. Dia (eksportir, red) siap dengan sukarela hibah ke negara,” ungkap Karyoto.

“Artinya, secara hukum memang tidak boleh. Harus ada aturan dulu baru ada pungutan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, kalaupun uang senilai Rp52,3 miliar ini untuk PNPB, Karyoto mengatakan, uang ini tidak bisa masuk ke kas negara. Sebab, belum ada aturan yang mengikat agar pemerintah bisa melakukan pencairan uang yang ada di sana.

“Sehingga ini disita lalu kemudian dirampas kepada negara,” pungkasnya.