Bagikan:

JAKARTA - Pada Jumat, 21 Juli, Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) meminta pengadilan federal menolak permintaan TikTok untuk membatalkan Undang-Undang yang melarangnya beroperasi di AS dengan alasan keamanan.

Permintaan DOJ ini muncul setelah TikTok melayangkan petisi di bulan Mei, untuk menantang hukum yang mengharuskan perusahaan induknya yang berbasis di China, ByteDance, untuk menjual aplikasi tersebut atau akan melarang penggunaan TikTok di AS.

Dalam salah satu dokumen pengajuan banding yang ditemukan Washington Post, DOJ mengatakan bahwa ByteDance memiliki akses ke alat pencarian yang memungkinkan karyawannya mengumpulkan informasi tentang pandangan pengguna AS tentang isu-isu yang memecah belah seperti pengendalian senjata, aborsi, dan agama.

Dokumen itu mengatakan bahwa sistem web-suite internal yang disebut Lark itu berfungsi untuk menghubungkan karyawan di China dan Amerika Serikat untuk mengirim data tentang pengguna AS, termasuk informasi identitas pribadi.

Menanggapi tuduhan tersebut, dalam sebuah postingan terbaru di X, pihak TikTok atau ByteDance kembali mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Departemen Kehakiman AS tidak dapat dibuktikan.

“Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, pemerintah tidak pernah memberikan bukti atas klaimnya, termasuk ketika Kongres mengesahkan undang-undang yang tidak konstitusional ini,” tulis perusahaan.

Selain itu, pelarangan penggunaan TikTok di AS juga akan melanggar hak Amandemen Pertama penggunanya.

“Larangan TikTok akan membungkam suara 170 juta orang Amerika, dan melanggar Amandemen Pertama. Saat ini, sekali lagi, pemerintah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya sambil bersembunyi di balik informasi rahasia,” tutup pernyataan itu.

Sebelumnya pada bulan April, Presiden AS Joe Biden telah menandatangani Undang-Undang yang memaksa ByteDance untuk menjual TikTok atau melarang aplikasinya di Amerika Serikat, tempat perusahaan itu memiliki 170 juta pengguna.