Bagikan:

JAKARTA – Pada April lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS sepakat untuk melarang TikTok jika platform itu masih berada di bawah naungan ByteDance. Setelah larangannya dikeluarkan, TikTok mengajukan banding.

TikTok tidak terima dengan tuduhan Departemen Kehakiman (DOJ) AS. Menurut perusahaan tersebut, DOJ memberikan fakta yang salah dalam menyampaikan kasusnya. TikTok juga menegaskan data mereka di AS terpisah sepenuhnya dengan China.

Pembelaan ini disampaikan setelah DOJ membuat dua tuduhan utama. Tuduhan pertama menyatakan bahwa algoritma yang digunakan TikTok untuk mengendalikan feed pengguna bisa dikendalikan oleh pemerintah China untuk tujuan politik.

Menurut DOJ, dilansir dari Reuters, pemerintah China dapat menampilkan berbagai hal yang baik tentang negaranya dan menampilkan konten yang buruk tentang AS. Tuduhan kedua menyatakan bahwa data pribadi para pengguna di AS bisa diserahkan ke pemerintah China.

Saat membantah dua tuduhan ini, TikTok menegaskan bahwa seluruh data pengguna tidak disimpan atau bahkan diakses oleh pemerintah China. Pasalnya, mesin rekomendasi konten dan data pengguna tersimpan di server cloud yang dikelola Oracle.

TikTok juga mengatakan pemerintah China tidak bisa ikut campur dalam keputusan moderasi konten karena keputusan yang memengaruhi para pengguna dibuat di AS. Namun, sekeras apa pun usaha TikTok, pemerintah AS masih memaksa proses divestasi.

Selama TikTok masih menjadi bagian dari ByteDance, pemerintah AS khawatir bahwa China bisa mengakses dan memata-matai aktivitas warga mereka di aplikasi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah tidak mau kalah dan mendesak TikTok untuk berpisah dengan ByteDance.