Bagikan:

JAKARTA - Sedikitnya 12 pengunjuk rasa kembali tewas, termasuk seorang biksu, saat rezim militer Myanmar membubarkan aksi unjuk rasa menolak kudeta 1 Februari, sepanjang Sabtu 12 Maret. 

Lima orang ditembak mati dan beberapa lainnya cedera ketika polisi melepaskan tembakan pada protes duduk di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, kata saksi mata kepada Reuters.

Orang lain tewas di pusat Kota Pyay dan dua tewas dalam tembakan polisi di ibukota komersial Yangon, di mana tiga orang juga tewas dalam semalam, media domestik melaporkan.

"Mereka bertingkah seperti berada di zona perang, dengan orang-orang tak bersenjata. Korban tewas termasuk seorang anak berusia 13 tahun," kata aktivis yang berbasis di Mandalay, Myat Thu. 

Si Thu Tun, pengunjuk rasa lainnya, mengatakan dia melihat dua orang ditembak, termasuk seorang biksu Buddha. 

“Salah satunya terkena di tulang kemaluan, satu lagi ditembak mati hingga tewas,” katanya.

Di Pyay, seorang saksi mata mengatakan pasukan keamanan awalnya menghentikan ambulans untuk menangkap pengunjuk rasa yang terluka, yang menyebabkan satu kematian.

Seorang sopir truk di Chauk, sebuah kota di tengah Wilayah Magwe, juga tewas setelah ditembak di bagian dada oleh polisi Myanmar, kata seorang teman keluarga.

Juru Bicara Rezim Militer Myanmar tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters untuk meminta komentar. Siaran berita malam MRTV media yang dikelola Junta menyebut para pengunjuk rasa sebagai penjahat tetapi tidak merinci lebih lanjut.

Sementara itu, Penjabat Wakil Presiden Myanmar yang ditunjuk oleh Komite Perwakilan Parlemen Myanmar (CRPH) Mahn Win Khaing Than menyebut, saat-saat seperti ini adalah saat paling gelap bagi bangsa, namun fajar sudah dekat. 

CRPH diketahui tengah mengumumkan rencana pembentukan pemerintahan demokorasi federal, sekaligus telah bertemu dengan perwakilan etnis bersenjata berpengaruh di Myanmar. 

“Untuk membentuk demokrasi federal, yang diinginkan oleh semua etnis bersaudara, yang telah menderita berbagai jenis penindasan dari kediktatoran selama beberapa dekade, benar-benar diinginkan, revolusi ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyatukan upaya kita,” kata Mahn Win Khaing Than .

Dia menambahkan, CRPH akan berusaha untuk membuat undang-undang yang diperlukan sehingga, warga Myanmar memiliki hak untuk membela diri. Dan, administrasi publik akan ditangani oleh tim administrasi rakyat sementara.

Dengan penambahan 12 korban tewas sepanjang Sabtu kemarin, total 92 pengunjuk rasa tewas akibat kebrutalan rezim militer Myanmar,  dalam menangani aksi unjuk rasa penentangan kudeta militer Myanmar yang sudah berlangsung selama 41 hari, seperti melansir The Irrawaddy.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.