Saat Tato Menjadi Simbol Perlawanan Terhadap Kudeta Militer Myanmar
Ilustrasi tato (Unsplash/@mehnditrainingcenter)

Bagikan:

JAKARTA - Sebulan unjuk rasa menentang rezim militer Myanmar, sejak kudeta 1 Februari lalu, memberi ruang untuk para seniman membantu membentuk bagaimana protes diekspresikan secara visual. 

Mulai dari ilustrasi bergerak para demonstran yang telah meninggal, hingga mural besar, karya seni pinggir jalan dan simbol-simbol satir yang mengejek pemimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. 

Dari kota-kota besar seperti Yangon dan Mandalay, hingga Nyaung Shwe di negara bagian Shan, sebuah kota kecil di dekat tempat wisata populer Danau Inle, para pengunjuk rasa semakin mendukung demokrasi, menentang militer Myanmar.

"Tato adalah kenangan abadi sepanjang hidup Anda, dan cara untuk mengekspresikan impian kami. Tato tidak bisa dilepas dan karena itu menunjukkan solidaritas kami. Itu menyatukan kami para pengunjuk rasa," kata Htun Htun, warga Nyaung Shwe, berasal dari Yangon, melansir CNN.

Htun Htun adalah satu dari sekitar 70 orang yang mengikuti aksi protes tato di Nyaung Shwe pada Hari Jumat 5 Februari lalu.

myanmar
Kreasi seni pengunjuk rasa anti kudeta militer Myanmar. (Twitter@GuideCivilian)

Acara yang diorganisir oleh kelompok pemuda lokal dari etnis minoritas Intha ini, mengundang warga untuk membuat tato protes untuk menggalang dana bagi gerakan pembangkangan sipil atau CDM. 

Gerakan tersebut telah menyaksikan ribuan pekerja kerah putih dan biru, dari petugas medis, bankir dan pengacara hingga guru, insinyur dan pekerja pabrik, meninggalkan pekerjaan mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap kudeta militer 1 Februari.

Delapan penato menggambar tubuh puluhan peserta yang masing-masing dimintai sumbangan minimal 2 dolar Amerika Serikat. Setiap tato membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk diselesaikan. 

Untuk kecepatan, peserta diberi pilihan empat gaya: wajah pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi, kata-kata 'Revolusi Musim Semi', frasa 'Kabar Ma Kyay Bu' (yang merujuk pada lagu protes dan berarti 'kita tidak akan lupa sampai akhir dunia') dan 'salam tiga jari' simbol perlawanan yang diangkat dari film 'The Hunger Games'. Tentu, yang paling populer adalah wajah Aung San Suu Kyi.

"Saya membuat tato karena saya mencintai Aung San Suu Kyi dan mengagumi orang-orang yang berdiri dan menderita di bawah kediktatoran. Untuk membuat tato itu menyakitkan, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit hati kita (akibat kudeta). Saya ingin kita kebebasan kembali, "kata Moh Moh, peserta berusia 26 tahun yang tidak ingin memberikan nama lengkapnya karena alasan keamanan.

kudeta myanmar
Kata-kata kreatif pengunjuk rasa. (Wikimedia Commons/သူထွန်း)

"Kampanye tato adalah ide kami sendiri. Ini adalah sekelompok penato yang menggunakan acara tersebut untuk mendukung CDM. Apa yang terjadi sekarang dengan protes lebih mengkhawatirkan daripada COVID-19," kata penyelenggara Nyi Nyi Lwin.

Ditambahkannya, acara tersebut dirusak oleh tindakan keras mematikan baru-baru ini, terhadap pengunjuk rasa damai oleh pasukan keamanan Myanmar. Beberapa orang takut dengan rumor bahwa polisi akan datang untuk menangkap peserta.

Budaya tato

Myanmar memiliki sejarah tato yang panjang dan kaya, terutama di antara kelompok etnis yang beragam di negara itu. Di bagian utara Shan dan negara bagian Karen tengah, pria akan membuat tato di paha mereka untuk melambangkan kejantanan dan keberanian.

Yang lain percaya tato tradisional akan memiliki kekuatan magis. Di negara bagian Chin yang terpencil dan bergunung-gunung di barat Myanmar, wanita lokal diketahui menato wajah mereka.

Tapi tato dilarang di Myanmar, yang saat itu dikenal sebagai Burma, di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Dan praktik perempuan Chin menato wajah mereka dilarang oleh pemerintah sosialis militer Burma pada 1960-an.

Sejak negara itu mulai membuka diri dan memulai serangkaian reformasi dari 2011, tato menjadi lebih populer, terutama di kalangan generasi muda.

Htun Htun mengatakan, semua temannya di Nyaung Shwe membuat tato protes. Tapi, hal ini tidak mungkin dilakukan di Yangon, karena rezim militer Myanmar kian agresif. 

"Kami semua mengharapkan demokrasi dan melihat pembebasan para pemimpin kami 

Meningkatnya kekerasan membuat saya ketakutan, kami tidak berdaya. Senjata bukanlah solusi untuk masalah ini," tambahnya.