Bagikan:

JAKARTA - Suster Ann Roza Nu Tawng kembali menempatkan dirinya dalam bahaya, saat dia mencoba menghentikan polisi yang menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa di Myanmar.

Kali ini di Kota Myitkyina, saat bentrokan terjadi antara pengunjuk rasa anti kudeta dengan militer Myanmar pada Senin 8 Maret. Mengenakan jubah berwarna putih, Suster Ann Roza kembali berusaha melindungi para pengunjuk rasa. 

"Pertama kali saya memohon kepada polisi agar tidak memukul, tidak menangkap, tidak menindak para pengunjuk rasa, karena pengunjuk rasa tidak melakukan hal buruk, mereka hanya meneriakkan slogan-slogan," tuturnya kepada Sky News.

"Dan polisi mengatakan kepada saya 'kami dari sini, kami harus melakukan ini. Harap menjauh dari sini," lanjutnya.

"Saya menjawab, 'tidak, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus datang melalui saya!," kata Suster Ann. 

"Kemudian polisi mengatakan 'kami harus menghapus barikade ini di jalan'. Mereka kemudian melepaskan barikade tersebut dan setelah beberapa saat para pengunjuk rasa kembali," ungkapnya.

"Kemudian sekitar jam 12 siang pasukan keamanan akan melakukan tindakan keras, jadi sekali lagi saya memohon kepada mereka, saya berlutut di depan mereka dan saya memohon untuk tidak menembak dan tidak menangkap orang-orang".

"Polisi Myanmar juga berlutut dan mereka mengatakan kepada saya, bahwa mereka harus melakukannya karena ini untuk menghentikan protes".

suster ann roza
Polisi Myanmar memberi salam pada Suster Ann Roza. (Facebook/Myitkyina News Journal)

"Setelah itu, gas air mata digunakan dan saya kesulitan bernapas dan saya pusing, lalu saya melihat orang yang jatuh di jalan dan (dia ditembak)," getirnya.

Editor Myitkyina News Journal mengatakan kepada Sky News, setidaknya dua pengunjuk rasa dipastikan meninggal dari bentrokan siang kemarin.

Foto-foto menyedihkan menunjukkan Suster Ann Roza berdiri di atas jalan saat pengunjuk rasa berlari ke arah orang yang terluka parah yang tergeletak di jalan. Dalam gambar grafis lain, dia menangis saat melihat tubuh seorang pria yang telah ditembak di kepala.

Dia mengatakan, dia tidak melihat apakah itu polisi atau militer Myanmar yang menembaki para pengunjuk rasa, karena perihnya gas air mata. Tetapi dia berharap bukan petugas yang dia ajak bicara.

"Saya sangat sedih. Polisi mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak akan menindak atau menembak secara brutal, tetapi akhirnya mereka melakukannya," ungkapnya

"Saya melihat orang lain yang meninggal di tempat dan mengalami luka serius. Orang pertama yang tertembak di kepala masih bisa bernafas saat tiba di puskesmas dan orang-orang berusaha mengobatinya, tapi akhirnya meninggal," tutup Suster Ann Roza.

suster ann roza
Suster Ann Roza berdialog dengan polisi Myanmar. (Facebook/Myitkyina News Journal)

Lebih dari sepekan lalu, Suster Ann Roza menjadi sorotan setelah berlutut di depan barisan polisi di Kota Kachin, saat dia memohon kepada mereka untuk menahan diri dari kekerasan.

"Kemudian mereka melepaskan tembakan dan mulai memukuli para pengunjuk rasa. Saya terkejut dan saya pikir hari ini adalah hari saya akan mati. Saya memutuskan untuk mati. Saya meminta dan memohon kepada mereka untuk tidak melakukannya dan saya mengatakan kepada mereka bahwa para pengunjuk rasa tidak melakukan (kejahatan) apa pun," jelas Suster Ann.

Sedikitnya 56 orang telah terbunuh dan 1.790 ditahan atau ditangkap sejak kudeta militer 1 Februari, menurut angka yang dikumpulkan oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Burma).

Pada Hari Senin, banyak pengunjuk rasa cedera dilaporkan di berbagai lokasi unjuk rasa di seluruh negeri, ketika militer berusaha menghentikan protes yang sedang berlangsung. Setidaknya satu pemrotes di Pyapon, wilayah Ayeyarwaddy, juga tewas menurut kantor media Khit Thit

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.