Bagikan:

JAKARTA - Harapan gencatan senjata konflik di Gaza tampaknya menipis pada Hari Minggu, setelah Hamas menegaskan kembali tuntutannya untuk mengakhir perang dengan imbalan pembebasan sandera, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menegaskan kembali penolakannya.

Kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut. Delegasi Hamas meninggalkan perundingan gencatan senjata di Kairo pada Minggu malam untuk berkonsultasi dengan para pemimpinnya. Namun, para pejabat Hamas berencana untuk kembali ke ibu kota Mesir pada Hari Selasa, kata dua sumber keamanan Mesir, melansir Reuters 6 Mei.

Pada Hari kedua perundingan dengan mediator Mesir dan Qatar, perunding Hamas mempertahankan pendirian mereka, perjanjian gencatan senjata harus mengakhiri perang, kata para pejabat Palestina.

Para pejabat Israel belum melakukan perjalanan ke Kairo untuk mengambil bagian dalam diplomasi tidak langsung. Namun pada Hari Minggu PM Netanyahu menegaskan kembali tujuan Israel sejak dimulainya perang hampir tujuh bulan lalu, untuk melucuti dan membubarkan gerakan Islam Palestina Hamas demi kebaikan atau membahayakan keamanan masa depan Israel.

Perdana menteri mengatakan Israel bersedia menghentikan pertempuran di Gaza untuk menjamin pembebasan sandera yang masih ditahan oleh Hamas, yang diyakini berjumlah lebih dari 130 orang.

"Tetapi meski Israel telah menunjukkan kesediaannya, Hamas tetap bertahan pada posisi ekstremnya, yang pertama di antaranya adalah tuntutan untuk menarik seluruh pasukan kami dari Jalur Gaza, mengakhiri perang, dan membiarkan Hamas tetap berkuasa," kata PM Netanyahu.

"Israel tidak bisa menerima hal itu," tandasnya.

Sementara itu, seorang pejabat yang mendapat penjelasan mengenai perundingan tersebut mengatakan kepada Reuters: "Putaran mediasi terakhir di Kairo hampir gagal."

Terpisah, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan Hamas tampaknya tidak serius untuk mencapai gencatan senjata.

"Kami mengamati tanda-tanda mengkhawatirkan Hamas tidak berniat mencapai kesepakatan dengan kami," kata Menhan Gallant.

"Ini berarti aksi militer yang kuat di Rafah akan dimulai dalam waktu dekat dan di seluruh wilayah Jalur Gaza," katanya.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis tak lama setelah PM Netanyahu, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan kelompoknya masih ingin mencapai gencatan senjata komprehensif yang mengakhiri "agresi" Israel, menjamin penarikan Israel dari Gaza, dan mencapai kesepakatan "serius" untuk membebaskan warga Israel yang disandera sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina.

Haniyeh menyalahkan PM Netanyahu atas "berlanjutnya agresi dan perluasan lingkaran konflik, serta menyabotase upaya yang dilakukan melalui mediator dan berbagai pihak".

Diketahui, Qatar dan Mesir berusaha memediasi tindak lanjut gencatan senjata singkat pada Bulan November, di tengah kekecewaan internasional atas melonjaknya jumlah korban tewas di Gaza dan penderitaan 2,3 juta penduduknya.

Diketahui, konflik terbaru Hamas dan Israel pecah pada 7 Oktober 2023, saat kelompok militan Palestina melancarkan serangan ke Israel selatan yang menewaskan 1.200 orang dan 252 sandera, menurut penghitungan Israel.

Sebagai respons, Israel membombardir dan mengepung Gaza yang menyebabkan lebih dari 34.600 warga Palestina telah terbunuh dan lebih dari 77.000 orang terluka menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Pengeboman tersebut telah menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir dan menyebabkan krisis kemanusiaan.