KPK Diminta Tak Tebang Pilih Saat Terbitkan SP3 Terhadap Kasus Korupsi
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang adanya penghentian penyidikan terhadap sejumlah kasus korupsi tapi tidak untuk kasus yang menjerat mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino.

Terbukanya peluang penerbitan SP3 terhadap sejumlah kasus korupsi yang mandek ini, disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Kata dia, kemungkinan ini bisa dilakukan dengan dasar Pasal 40 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang menyebut lembaga antikorupsi ini dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. 

"Kemungkinan ada (yang di-SP3, red) karena setelah kami petakan ada beberapa case yang masih ingat ketika ditetapkan tersangka di tahun 2016 sampai sekarang belum naik juga. Apa alasannya, nanti kita akan minta disisir. Perkara apa, hambatannya gimana, dan apakah dimungkinkan dilanjutkan atau tidak," kata Alex kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Maret.

Untuk melaksanakan hal ini, dia juga mengatakan KPK sudah punya standard operating procedure (SOP). Di antaranya, penghentian ini bisa dilakukan setelah  lebih dari dua tahun tidak lagi ditemukan bukti yang cukup atau tersangka tidak layak diajukan ke persidangan (unfit to stand trial). Selanjutnya, KPK akan meminta pendapat ahli sebagai pendapat kedua (second opinion). 

"Pendapat ahli mengatakan ini sudah enggak ada kemungkinan untuk dinaikkan perkaranya atau misalnya not fit to trial, tidak cakap untuk diajukan ke persidangan, ya, ngapain juga kita gantung terus," jelasnya.

Kemudian, sesuai ketentuan, KPK nantinya harus terbuka kepada publik perihal penghentian penyidikan atau penuntutan suatu kasus. 

"Yang jelas kami akan transparan. Jadi tidak semata-mata karena keputusan pimpinan. Kami akan ekspose, gelar perkara," tegasnya.

Selain itu, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila di kemudian hari ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, Alex memang tak secara gamblang menyatakan kasus apa saja yang akan dihentikan penyidikannya. Dia hanya mengatakan memang ada sejumlah kasus yang telah dilimpahkan namun belum diadili karena terdakwanya sakit dan salah satunya adalah politikus senior yang juga Direktur Utama PT Pantai Aan, Bambang Wiraatmadji Soeharto atas perkara dugaan suap terkait pengurusan perkara tanah. 

"Tidak tahu statusnya sampai sekarang juga masih gantung. Kami sampai sekarang belum terbitkan SP3. Mungkin nanti salah satunya itu," katanya

Meski pengusutan kasus korupsi dihentikan, Alex menekankan, KPK akan berusaha maksimal untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Menurutnya, KPK akan meminta Kejaksaan untuk menggugat tersangka atau terdakwa secara perdata jika nyata-nyata terbukti adanya kerugian keuangan negara.

"Sama saja kalau tersangka meninggal dan nyata-nyata telah terbukti ada kerugian negara bisa kami gugat untuk bayar kerugian negara. Kami limpahkan ke Kejaksaan untuk digugat secara perdata," imbuh dia.

Meski membuka peluang untuk menerbitkan SP3 terhadap kasus rasuah yang sudah berjalan dua tahun tapi mandek, namun, KPK belum membuka peluang tersebut untuk kasus dugaan korupsi pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II dengan tersangka mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino yang sudah berjalan hampir lima tahun atau sejak akhir 2015.

"Untuk SP3 di situ memang 2 tahun, tapi di situkan dapat dihentikan. Ini kami belum sampai kesimpulan akan menghentikan," ungkapnya.

Dia mengatakan kasus ini bisa diselesaikan. Tapi, KPK terkendala dengan penghitungan kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan RJ Lino.

Adapun yang jadi pengambat penghitungan kerugian negara ini disebabkan pihak HDHM yang jadi pelaksana proyek tak mau menyerahkan dokumen harga QCC yang mereka jual kepada PT Pelindo II.

Namun, untuk menyiasati kesulitan ini, KPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian keuangan negara kasus ini dan tinggal menunggu hasil.

"Berdasarkan hasil penyidikan, penyidik masih menunggu informasi terkait kerugian negara. Dari BPK tadi sudah disampaikan laporannya. Tapi masih menunggu hitungan ahli perguruan tinggi, secara teknis sebetulnya berapa," jelasnya.

Dalam kasus ini, RJ Lino dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang salah satu unsur perbutannya merugikan keuangan negara.

Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) sejak Desember 2015. Namun hingga kini kasusnya masih dalam tahap penyidikan. Kasus dugaan korupsi ini diduga merugikan negara Rp 50,03 miliar berdasarkan laporan audit investigatif BPKP tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 pada 18 Maret 2011.

Hingga saat ini KPK belum juga melimpahkan kasus korupsi ini ke pengadilan. Selain itu, sebagai tersangka, RJ Lino juga masih menghirup udara di luar Rutan KPK.

Dinilai jangan tebang pilih

Langkah KPK yang bakal menerbitkan SP3 untuk kasus yang lebih muda daripada kasus yang menjerat RJ Lino kemudian ditanggapi oleh Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Dia meminta KPK tidak tebang pilih untuk melakukan penghentian penyidikan terhadap satu kasus korupsi.

"KPK tidak boleh tebang pilih dan politisasi kasus," kata Fickar saat dihubungi VOI, Rabu, 3 Maret.

Dia menilai, jika ada kasus yang hampir dua tahun kemudian dihentikan penyidikannya sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka harusnya hal ini juga berlaku bagi kasus yang menjerat RJ Lino. Apalagi, kasus ini sudah berjalan selama lima tahun tanpa kejelasan.

"Kalau ada kasus yang baru dua tahun di SP3-kan maka kasus yang sudah lima tahun seharusnya lebih dulu di SP3kan," tegasnya.

"Jika ada faktor lain yang menyebabkan kasus yang lima tahun lebih tidak SP3 maka KPK harus menjelaskannya kepada publik (alasannya, red)," pungkas Fickar.