KPK Tetap Lanjutkan Kasus RJ Lino, Pakar Hukum: Tidak Boleh Tebang Pilih
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih dalam menghentikan atau SP3 perkara yang mandek penyidikannya.

Hal ini disampaikan menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebut, komisi antirasuah berpeluang menghentikan penyidikan sejumlah kasus korupsi, tapi tetap melanjutkan penyidikan kasus yang menjerat mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino.

"KPK tidak boleh tebang pilih dan politisasi kasus," kata Fickar saat dihubungi VOI, Rabu, 3 Maret.

Dia menilai, jika ada kasus yang hampir dua tahun kemudian dihentikan penyidikannya sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka harusnya hal ini juga berlaku bagi kasus yang menjerat RJ Lino. Apalagi, kasus ini sudah berjalan selama lima tahun tanpa kejelasan.

"Kalau ada kasus yang baru dua tahun di SP3kan maka kasus yang sudah lima tahun seharusnya lebih dulu di SP3kan," tegasnya.

"Jika ada faktor lain yang menyebabkan kasus yang lima tahun lebih tidak SP3 maka KPK harus menjelaskannya kepada publik (alasannya, red)," imbuhnya.

 

Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berencana menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II dengan tersangka mantan Dirut PT Pelindo II, RJ Lino. 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, komisi antirasuah dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.

Hanya saja, hal ini bukan berarti lembaganya akan menghentikan penanganan kasus yang menjerat RJ Lino sejak akhir 2015 atau lebih dari lima tahun lalu.

"Untuk SP3 di situ memang dua tahun, tapi di situkan dapat dihentikan. Ini kami belum sampai kesimpulan akan menghentikan," kata Alex di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Maret.

Lebih lanjut, dirinya memaparkan kasus ini terkendala perhitungan kerugian keuangan negara. RJ Lino diketahui dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang salah satu unsur perbutannya merugikan keuangan negara. 

Hambatan menghitung kerugian keuangan negara ini disebabkan pihak HDHM yang jadi pelaksana proyek tak mau menyerahkan dokumen harga QCC yang mereka jual kepada PT Pelindo II.

Sementara terhadap kasus lain, kemungkinan penghentian terbuka. Apalagi, hal ini didasari Pasal 40 Undang-undang  Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang menyebut lembaga antikorupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. 

"Kemungkinan ada (yang di-SP3, red) karena setelah kami petakan ada beberapa case yang masih ingat ketika ditetapkan tersangka di tahun 2016 sampai sekarang belum naik juga. Apa alasannya, nanti kita akan minta disisir. Perkara apa, hambatannya gimana, dan apakah dimungkinkan dilanjutkan atau tidak," jelas Alex.

KPK, sambungnya, sudah punya SOP untuk menghentikan penyidikan suatu perkara yaitu penghentian ini dilakukan setelah lebih dari dua tahun tidak lagi ditemukan bukti yang cukup atau tersangka tidak layak diajukan ke persidangan (unfit to stand trial). Selanjutnya, komisi antirasuah akan meminta pendapat ahli sebagai pendapat kedua (second opinion). 

"Pendapat ahli mengatakan ini sudah enggak ada kemungkinan untuk dinaikkan perkaranya atau misalnya not fit to trial, tidak cakap untuk diajukan ke persidangan, ya, ngapain juga kita gantung terus," jelasnya.

Kemudian, sesuai ketentuan, KPK nantinya harus terbuka kepada publik perihal penghentian penyidikan atau penuntutan suatu kasus.