Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan investasi miras atau minuman keras berpotensi menarik masuknya modal asing. 

Meskipun diatur di dalamnya soal penjualan miras secara terbuka hanya di 4 daerah, namun pro dan kontra masih menggelinding. Bahkan tidak sedikit pihak yang menolak aturan tersebut terutama dari kalangan politikus. 

Penolakan

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritik keras Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken Presiden Joko Widodo. Pasalnya, Perpres yang melegalkan miras atau minuman beralkohol dari skala industri hingga perdagangan eceran dan kaki lima sebagai daftar investasi positif (DPI) itu dinilai telah menciderai nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Seharusnya, menurut Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Pemerintah menjaga nilai-nilai dasar negara dan konstitusi yang diterapkan dalam kebijakan di berbagai sektor, bukan malah merusaknya atas nama pragmatisme ekonomi. 

"Kami mengingatkan jangan sampai kebijakan negara kehilangan arah. Mungkin Pemerintah khilaf, dan menjadi kewajiban kami di Fraksi PKS untuk mengingatkan agar kebijakan ini dibatalkan," ujar Jazuli dalam keterangannya, Senin, 1 Maret.

Sejalan dengan PKS, Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mendesak pemerintah segera mengkaji Perpres tersebut. Pasalnya, terdapat pasal-pasal yang sangat potensial menimbulkan polemik dan keresahan dimasyarakat.

"Harus di-review dan dikaji serius. Saya yakin betul bahwa manfaat dari investasi dalam bidang industri miras sangat sedikit. Sementara mudharatnya sudah pasti lebih banyak. Kalau perlu, perpres tersebut segera direvisi. Pasal-pasal tentang mirasnya harus dikeluarkan," ujar Saleh dalam keterangannya, Senin, 27 Februari. 

Sementa itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 bukan saja mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi tokoh-tokoh masyarakat di daerah. Bahkan, di tiga dari empat daerah yang disebutkan dalam peraturan tersebut, yakni Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua.

“Di Papua, anggota DPD dari Papua dan Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) juga sudah menyampaikan penolakannya, karena miras dinilai membahayakan eksistensi masyarakat Papua. Kasatserse Polwiltabes Manado juga menyampaikan miras jadi pemicu meningkatnya kriminalitas di Manado, Sulawesi Utara. Sementara di NTT juga ada laporan kejahatan adik yang karena mabuk miras malah tega bunuh kakak kandungnya sendiri,” ujar Hidayat dalam keterangan yang diterima VOI, Senin, 1 Maret. 

Karenanya, anggota Komisi VIII DPR yang membidangi urusan agama itu mengingatkan Presiden Joko Widodo agar meninjau ulang keberadaan Perpres yang ditandatanganinya tersebut. Sebab kata dia, posisi MRP sangat penting di mata masyarakat Papua dan dalam ketentuan UU Otonomi Khusus Papua. Dimana menjadi provinsi yang justru mempunyai Perda Larangan Minuman Beralkohol.

”Berdasarkan UU Otsus Papua, MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama,” jelas pria yang akrab disapa HNW itu.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat M Cholil Nafis menilai bahwa kearifan lokal tidak bisa dijadikan sebagai dalih untuk melegalkan minuman keras (miras).

"Tidak bisa atas nama kearifan lokal atau sudah lama ada, maka dipertahankan," kata Cholil kepada wartawan, Senin 1 Maret.

Menurutnya, pembukaan industri miras akan memberikan keuntungan kepada segelintir orang namun akan menimbulkan kerugian besar bagi masa depan rakyat.

"Saya pikir harus dicabut kalau mendengarkan pada aspirasi rakyat, karena ini tidak menguntungkan untuk masa depan rakyat. Mungkin untungnya bagi investasi iya, tapi mudaratnya bagi investasi umat. Karena kita larang saja masih beredar, kita cegah masih lolos, bagaimana dengan dilegalkan apalagi sampai eceran dengan dalih empat provinsi, tapi, kan, nyebar ke provinsi lain, karena hasil investasi tak sebanding dengan rusaknya bangsa ini," katanya. 

Dukungan

Berbeda dengan Fraksi PKS, PAN dan PKB di DPR, Golkar justru mendukung diterbitkannya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. 

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Christina Aryani menilai, Perpres tersebut sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan kemudahan berusaha dan peningkatan investasi.

"Ini sejalan dengan spirit UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan berinvestasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Christina dihubungi VOI, Senin, 1 Maret.

Menurut anggota Komisi I DPR itu, aturan Perpres 10/2021 itu sudah tepat mengatur legalitas industri minuman keras dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. 

"Saya nilai ini sudah pas bahwa khusus untuk minuman beralkohol investasi baru dimungkinkan untuk wilayah Sulut, Papua, NTT dan Bali," jelas Christina.

Senada dengan politisi Golkar, Gubernur Bali Wayan Koster mengpresiasi berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Hanya saja, yang didukung adalah miras yang menjadi bagian dari budaya dan kearifan lokal setempat, salah satunya Arak Bali.

Dia mengatakan minuman Arak Bali, Brem Bali dan Tuak Bali menjadi usaha yang sah untuk diproduksi dan dikembangkan. 

"Atas nama pemerintah dan krama (masyarakat) Bali, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021," kata Koster dikutip dari Antara, Selasa, 2 Maret.

Menurut Koster, Perpres tersebut memperkuat keberadaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

Koster menambahkan, industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt sebagai bidang usaha terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali juga merupakan respon atas upaya Gubernur Bali melalui Surat Gubernur Bali Nomor 530/2520/Ind/Disdagperin, tertanggal 24 April 2019.

Dalam surat tersebut berisi permohonan fasilitasi revisi untuk pembinaan industri minuman beralkohol tradisional di Bali untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan di Bali terkait Perpres Nomor 39 Tahun 2014.

"Terhadap permohonan Surat Gubernur Bali itu, Menteri Perindustrian RI melalui Dirjen Industri Agro merespons untuk memfasilitasi revisi Perpres Nomor 39 Tahun 2014 dan sambil menunggu perubahan Perpres mengusulkan pengaturan dalam produk hukum daerah guna menata minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali," jelas Koster.

Sementara, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menuturkan, dari keempat daerah yang diperbolehkan izin edar miras, hanya Bali yang siap secara infrastruktur. Sehingga, aturan tersebut masih relevan diluar untuk kepentingan kearifan setempat.

"Yang siap hanya Bali. NTT, infrastruktur wisatanya belum lengkap apalagi Papua. Sulut juga kan macet turisnya," ujar Agus kepada VOI, Senin, 1 Maret.

Apabila diberlakukan selain keempat daerah tersebut guna tujuan wisata, Agus mengatakan destinasi pasti akan sepi wisman jika tidak diperbolehkan mengkonsumsi miras. Misal, di Yogyakarta dimana daerah tersebut masih belum terbuka dengan budaya turis seperti di Bali. Sehingga, bukan tempat utama wisman berlibur ke Indonesia.

"Kalau turis di Jogja enggak boleh miras ya sepi Jogja. Kita bicara wisman ya bukan turis lokal. Terus misal, di Kepri situ ada Bintan segala macem, enggak boleh (miras) ya sepi," paparnya.

Agus juga mencontohkan daerah pariwisata yang sepi didatangi turis mancanegara lantaran banyaknya larangan yang berlaku di daerah bersangkutan. Misal jika dibandingkan dengan branding Bali versus Lombok.

"Coba perhatikan kenapa Lombok sama Bali, Lombok (kalah ramai.red). Karena disana kan, pantai tidak boleh pake bikini lalu enggak boleh miras ya enggak ada yang dateng turis," ungkapnya.

Menurut Agus, yang dikhawatirkan masyarakat adalah ketika orang mabuk membuat celaka orang lain. Sehingga negara harus mengatur bagaimana cara mengimplementasikan aturan tersebut. 

Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah belajar dari sistem pengawasan miras di luar negeri. Dimana, anak dibawah umur tidak boleh membeli minuman beralkohol. Caranya, dengan menunjukkan identitas pembeli. 

"Jadi diatur saja, misalnya kalau beli miras harus tunjukkan KTP, artinya dia sudah dewasa. Tapi siapa yang akan ngawasi? Bagaimana dengan oplosan?

Sumbernya kan banyak dimana-mana terus gimana cara ngawasinya? Jadi menurut saya, tingkatkan pengawasannya," tukasnya.

Belum lama ini pemerintah telah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI). Sebelumnya, industri minuman beralkohol merupakan bidang industri tertutup.

Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah diteken Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per 2 Februari 2021.

Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 pada angka 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.