Hong Kong Jerat 47 Aktivis Pro Demokrasi Langgar UU Keamanan Nasional
Ilustrasi unjuk rasa pro demokrasi di Hong Kong. (Elton Yung/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Hong Kong mendakwa 47 aktivis oposisi karena melanggar Undang-Undang Keamanan Nasional kota pada Hari Minggu, dalam penerapan hukum terbesar sejak diberlakukan oleh Beijing tahun lalu.

Jika terbukti bersalah melakukan 'persekongkolan untuk melakukan subversi', mereka bisa menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Mereka yang didakwa kebanyakan mantan anggota parlemen terkemuka, aktivis dan anggota dewan distrik yang merupakan aktivis pro demokrasi Hong Kong. Mereka ditangkap Januari lalu karena mengatur, merencanakan dan berpartisipasi dalam terkait Pemilu pendahuluan tak resmi yang digelar partai-partai pro demokrasi pada Juli 2020 lalu. 

Pemilu yang diikuti sekitar 600 ribu pemilih tersebut bertujuan memilih kandidat yang akan ikut dalam Pemilu Legislatif Hong Kong. Dari 70 kursi Parlemen Hong Kong, pihak oposisi menargetkan meraih 35 kursi. Total mereka yang ditahan mencapai 53 orang. 

39 pria dan delapan wanita yang didakwa Minggu, berusia antara 23 dan 64 tahun, ditahan dan akan muncul di Pengadilan Magistrat Kowloon Barat pada Hari Senin, seperti dilansir CNN.  

Benny Tai, profesor hukum di Universitas Hong Kong dan salah satu pendiri kelompok aktivis Occupy Central with Love and Peace (OCLP) melapor ke Kantor Polisi Ma On Shan pada 28 Februari di Hong Kong.

Tuduhan pada Hari Minggu menandai peningkatan besar dalam penerapan hukum keamanan nasional, di mana sebelumnya hanya segelintir orang yang telah dituntut dan dibawa ke pengadilan.

Undang-undang tersebut mengkriminalisasi pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing, dan kasus di bawah undang-undang tersebut dapat ditangani oleh cabang khusus dari kepolisian Hong Kong dan pengadilan keamanan nasional.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam sebelumnya berjanji, undang-undang tersebut akan berlaku terbatas dan hanya menargetkan sejumlah kecil aktivis pinggiran.

Tuduhan itu muncul kurang dari seminggu setelah pemerintah Hong Kong bergerak untuk memperkenalkan persyaratan baru bagi pejabat publik, termasuk bahwa mereka bersumpah setia dan merangkul pemerintahan Beijing atas kota tersebut.

Penangkapan aktivis pro demokrasi oleh polisi Hong Kong pada Januari lalu, menuai kritik keras dari Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Blinken menyebut, penangkapan besar-besaran demonstran pro-demokrasi adalah serangan terhadap mereka yang dengan berani membela hak-hak universal.

"Pemerintahan Biden-Harris akan mendukung rakyat Hong Kong dan menentang tindakan keras Beijing terhadap demokrasi," kata Antony Blinken.

Terisah, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab memperingatkan pada Bulan Januari jika Pemerintah Inggris tidak akan berpaling ketika hak dan otonomi rakyat Hong Kong dihancurkan.

"Ketika China pertama kali memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional, mereka mengatakan itu untuk membawa stabilitas ke Hong Kong. Yang jelas dari tindakan ini adalah bahwa sebenarnya itu dirancang untuk menghancurkan perbedaan pendapat politik," kata Raab kepada CNN