Warga Myanmar Tolak Pengurus Lingkungan, Kepala Desa hingga Lurah Bentukan Rezim Militer
Unjuk rasa warga Myanmar. (Twitter/@MyatNoe53231837)

Bagikan:

JAKARTA - Aksi represif yang dilancarkan rezim militer Myanmar pekan lalu, menyebabkan belasan pengunjuk rasa tewas dan ratusan lainnya luka-luka serta ditahan.

Menolak kudeta militer 1 Februari 2021, para pengunjuk rasa juga menolak berbagai kebijakan yang dikeluarkan pasca-kudeta, salah satunya adala pembentukan dewan administrasi di kelurahan dan desa yang berada di bawah Dewan Administrasi Negara (SAC).

Dewan Administrasi Negara merupakan badan pelaksana pemerintahan yang dibentuk oleh militer Myanmar setelah kudeta. Usai dibentuk, SAC membentuk dewan administrasi tingkat kabupaten dan kota. Di bawahnya, mereka membentuk dewan administrasi kelurahan, desa, hingga lingkungan. Unjuk rasa dan penolakan warga terus dilakukan. 

Penduduk lokal di beberapa wilayah dan negara bagian, melakukan protes terhadap administrator lingkungan baru yang ditunjuk oleh rezim militer Myanmar.

Di wilayah Yangon, Mandalay, Sagaing, Magwe, dan Ayeyarwady, dan Negara Bagian Karen, penduduk setempat telah memukil panci dan wajan di depan kantor administrasi lingkungan, tanda ketidaksetujuan mereka terhadap administrator yang ditunjuk militer.

Sementara di Kotapraja Okkalapa Utara, ratusan penduduk setempat melakukan protes terhadap para pejabat yang ditunjuk militer pada pekan lalu.

“Para administrator dan kelompok yang mereka sebut sebagai tim penegak hukum adalah anggota inti dari USDP (Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan) serta mantan narapidana. Kami tidak bisa menerimanya. Kami bahkan tidak bisa menerima orang suci jika mereka diangkat oleh militer, karena mereka yang ditunjuk oleh militer akan melakukan apa yang diperintahkan oleh militer, ”kata Daw Mi Mi Win, yang ikut dalam unjuk rasa tersebut, melansir The Irrawaddy.

Di sejumlah kelurahan di Okkalapa Utara, warga setempat telah mengurung kantor administrasi kelurahan dan menggantungkan poster bertuliskan: 'Kelurahan ini akan dikelola sendiri oleh warga kelurahan. Tidak ada pejabat administratif yang akan diterima di kantor ini mulai hari ini'. Beberapa poster menyebut orang yang ditunjuk sebagai 'pengkhianat negara'.

Protes serupa juga terjadi di beberapa kota kecil lainnya termasuk Sanchaung, Thingangyun, Tamwe, Kyimyindaing, Hline, Mayangone dan Thanlyin.

“Kami akan menentang dan mengutuk setiap pilar dewan militer. Kami tidak akan menerima aturan mereka. Semua orang tahu bagaimana kaki tangan militer menindas kami pada masa (diktator militer) U Than Shwe,” kata U Kyaw Thiha, penduduk Kotapraja Sanchaung.

Karena tentangan dari warga setempat, 11 pengurus kelurahan di Hline, 42 di Dagon Seikkan, dan empat di Kyauktan telah mengajukan pengunduran diri mereka.

“Saya tidak ingin mengambil pekerjaan ini saat orang-orang berada dalam oposisi yang kuat. Saya telah tinggal di lingkungan ini sejak saya masih muda, dan saya tidak ingin dibenci oleh komunitas dengan menari mengikuti irama diktator,” kata seorang administrator lingkungan yang ditunjuk militer yang mengajukan pengunduran dirinya.

Di sebuah lingkungan di Sagaing di Myanmar tengah, penduduk yang menentang administrator yang ditunjuk militer telah menugaskan seorang biksu Buddha untuk sementara waktu memimpin urusan lingkungan. Di beberapa desa di Kotapraja Myaung di Sagaing, penduduk setempat mengatakan bahwa mereka akan mengelola desanya sendiri sampai pemerintahan terpilih kembali menjabat.

Sebelumnya, perangkat kelurahan dan desa dipilih langsung oleh warga berdasarkan UU Tata Laksana Kelurahan dan Desa. Mereka sekarang ditunjuk langsung oleh dewan administratif kecamatan yang dibentuk oleh rezim militer.