Tiga Tahun Kudeta Militer Myanmar: Warga Gelar Pemogokan, Junta Perpanjang Pemberlakuan Keadaan Darurat
Unjuk rasa anti kudeta militer Myanmar. (Wikimedia Commons/Maung Sun)

Bagikan:

JAKARTA - Warga di Kota Yangon, Myanmar menggelar aksi pemogokan pada Hari Kamis, memperingati tiga tahun kudeta militer negara itu yang dimulai pada tahun 2021 lalu, sementara Sekjen PBB memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kampanye kekerasan militer akan dimintai tanggung jawab.

Protes Hari Kamis menyusul pernyataan junta militer yang sehari sebelumnya mengatakan, memperpanjang pemberlakuan keadaan darurat di negara itu enam bulan ke depan, seiring dengan konflik berkepanjangan antara militer dengan kelompok pro-demokrasi dan milisi etnis minoritas.

Kondisi lalu lintas lebih sepi, sementara orang yang berada di tempat-tempat umum Kota Yangon lebih sedikit, saat pemogokan dimulai pukul 10 pagi waktu setempat. Pengunjuk rasa meminta warga untuk tinggal di rumah.

"Pemogokan diam-diam adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan protes saya,” kata seorang siswa sekolah menengah berusia 17 tahun di kota tersebut, yang mengatakan dia pernah ditangkap sebelumnya ketika ikut serta dalam protes anti-militer, melansir Kyodo News 1 Februari.

Militer melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021, dengan tuduhan kecurangan pemilih yang meluas pada pemilu 2020, di mana partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi menang telak. Kudeta itu menyebabkan jatuhnya pemerintahan Suu Kyi.

Dengan perpanjangan keadaan darurat terbaru ini, batas waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk memulihkan pemerintahan sipil akan diundur menjadi 1 Februari tahun depan.

Sementara itu, Menteri Urusan Kemanusiaan dan Manajemen Bencana Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) Win Myat Aye mengatakan, pihaknya dan sekutu etnis minoritasnya telah melakukan serangan terhadap militer, meminta komunitas internasional untuk meningkatkan tekanan terhadap junta.

"Revolusi musim semi di Myanmar telah mencapai titik balik," kata Win Myat Aye, mengacu pada gerakan perlawanan yang telah berlangsung selama tiga tahun melawan kediktatoran militer.

"Ini telah membuka jalan bagi kemenangan rakyat," lanjutnya.

Terpisah, Amerika Serikat dan tujuh negara lainnya serta Uni Eropa dalam pernyataan bersamanya mengatakan, mengutuk kekejaman kekejaman rezim militer yang masih berlangsung di Myanmar.

"Tindakan militer telah memicu krisis kemanusiaan yang semakin besar dengan 2,6 juta orang mengungsi dari rumah mereka, dan lebih dari 18 juta orang membutuhkan bantuan," kata pernyataan itu, yang mendesak militer untuk segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil dan membebaskan semua tahanan politik yang ditahan secara tidak adil.

Diketahui, lebih dari 4.400 penentang kudeta telah terbunuh, dengan lebih dari 25.900 ditangkap dan hampir 20.000 masih ditahan selama tiga tahun konflik berjalan, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).