Bagikan:

JAKARTA - Pemimpin militer Myanmar mengatakan rezimnya akan mengambil tindakan tegas, terhadap tenaga medis pemerintah yang menolak bekerja untuk penguasa militer.

Hal ini disampaikan oleh Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin militer Myanmar sekaligus pemimpin kudeta, sambil mengecam fakta bahwa sepertiga dari rumah sakit umum di Myanmar tidak lagi berfungsi selama hampir tiga minggu belakangan. 

Dua pekan lalu, ia sudah meminta tenaga medis yang mogok untuk kembali bekerja. Namun, para tenaga medis abai dengan permintaannya dan tetap menginisiasi aksi mogok yang berkembang menjadi aksi pembangkangan nasional (CDM). 

Namun, seriring bertambah banyaknya tenaga kesehatan yang mogok, menyebabkan pertambahan jumlah rumah sakit yang tidak bisa beroperasi seperti biasa. Ini membuat rezim gerah.

"357 rumah sakit dari 1.262 total di Myanmar telah ditutup dan hanya 778 yang beroperasi sementara 27 tidak dapat memberikan perawatan meskipun dibuka," kata pemimpin militer Myanmar Jenderal Min AUng Hlaing melansir The Irrawaddy.

“Dokter dan perawat yang tidak disiplin itu akan dihukum sesuai UU Kepegawaian,” lanjutnya.

Berdasarkan Undang-Undang Myanmar, tindakan maksimal terhadap pegawai negeri adalah pemecatan. Tidak ada hukuman penjara yang bisa diterapkan.

Sementara itu, Wakil Direktur Kementerian Kesehatan yang bergabung dengan CDM Dr. Win Ko Ko Thein mengatakan, ancaman yang dikeluarkan oleh Jenderal Min Aung Hlaing menunjukan keputusasaan rezim militer.

“Sekarang CDM membuatnya terhenti. Selama dokter dan perawat tidak kembali bekerja, mereka (rezim) tidak dapat memulihkan sistem perawatan kesehatan publik di sini,” katanya.

Dr Win Ko Ko Thein mengatakan tidak ada tanda-tanda bahwa petugas medis akan kembali bekerja dari aksi mogok nasional, meski ada ancaman hukuman dan junta harus mencari solusi lain.

“Mereka tidak bisa menahan semua petugas medis. Jika ya, pasti akan ada gangguan sistem yang lengkap. Akar penyebab dari seluruh masalah adalah kudeta," tukasnya.

Tenaga kesehatan Myanmar merupakan pelopor aksi CDM yang kian meluas. Mereka mulai melakukan pemogokan pada 3 Februari atau hanya dua hari setelah kudeta militer Myanmar 1 Februari.

Aksi pemogokan mereka pun mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik pegawai negeri maupun swasta sehingga membentuk aksi CDM sebagai perlawanan dan penolakan terhadap kudeta militer.

Kendati banyak rumah sakit tidak berfungsi, para dokter dan relawan yang bergabung dengan CDM membuka banyak klinik gratis untuk mendukung perjuangan para pengunjuk rasa dan anti militer Myanmar. Serta bagi warga Myanmar yang membutuhkan perawatan kesehatan umum.