JAKARTA - Mantan Kadiv Hubungan Internasional (Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte menyebut pihak yang harus bertanggung jawab atas terhapusnya nama Joko Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) yakni Kementerian Hukum dan HAM. Sebab, kewenangan perihal tersebut bukan dari pihaknya.
Pernyataan itu disampaikan Irjen Napoleon Bonaparte saat membacakan pembelaan atau pledoi atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dengan pidana penjara selama tiga tahun dalam kasus dugaan suap menghapus red notice Joko Tjandra.
"Bahwa penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dalam sistem ECS adalah kewenangan Menkumham RI atau Dirjen Imigrasi. Sehingga bukan tanggung jawab terdakwa karena memang terdakwa tidak memiliki kewenangan itu," ucap Napoleon dalam persidangan, Senin, 22 Februari.
Sehingga, dengan dasar itu tanggung jawab atas penghapusan nama Joko Tjandra tidak bisa langsung dilempar ke Divhubinter Polri. Terlebih, hanya dengan merujuk pada surat yang diterbitakan dari Divhubinter Polri ke Kemenkum HAM.
"Tanggung jawab itu tidak bisa dilimpahkan kepada Divhubinter atau NCB Interpol Indonesia berdasarkan 3 surat NCB Interpol Indonesia tersebut," tegasnya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, dalam perkara ini Irjen Napoleon disebut menerima suap dari Joko Tjandra. Suap itu dipetuntukan menghapus nama Joko Tjandra dari daftar red notice.
Saat menerima suap itu, Irjen Napoleon masih menjabat sebagai Kadiv Hubungan Internasional (Hubinter) Polri. Dia disebut menerima uang senilai 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar Amerika Serikat (AS) dari Tommy Sumardi.
Irjen Napoleon Bonaparte didakwa sebagai penerima suap bersama dengan Brigjen Prasetijo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Namun, dalam dakwan itu Brigjen Prasetijo disebut menerima uang sebesar 100 ribu dolar AS.