Warna K-Pop hingga Marvel ala Generasi Z Myanmar 'Hidupkan' Demo Anti Kudeta Militer
Kreativitas pengunjuk rasa anti kudeta militer Myanmar. (Wikimedia Commons/သူထွန်း)

Bagikan:

JAKARTA - Unjuk rasa menentang militer bukan hal baru di Myanmar. Namun ada yang berbeda dari unjuk rasa menentang pemberontakan militer Myanmar yang dilakukan pada 1 Februari lalu.

Di tengah hiruk-pikuk para aktivis demokrasi, termasuk para veteran dari peristiwa 1988, ada warna mencolok dalam setiap aksi unjuk rasa kali ini. Asalnya dari para pengunjuk rasa yang termasuk generasi Z atau Gen-Z.

Di garis depan aksi unjuk rasa besar, selain mengenakan kostum warna-warni dan mode bergaya, mereka terlihat memegang plakat warna-warni tinggi dengan kata-kata yang dipilih dengan baik menyindir pemimpin kudeta, sekaligus mengekspresikan ketidaksetujuan dan kemarahan mereka atas kudeta.

Banyak dari pengunjuk rasa muda ini, yang dengan bangga menunjukkan identitas mereka sebagai anggota fandom K-pop dan serial K, weebs (penggemar budaya pop Jepang), gamer, penggemar sepak bola hingga penggemar Marvel, mengikuti unjuk rasa dengan berpakaian seperti karakter dari film, anime, game hingga film Marvel.

Mendapat dukungan dari generasi pengunjuk rasa yang lebih senior karena aks damai, kreatif, terorganisir dan kepeduliannya terhadap kondisi Myanmar. Para generasi Z ini juga menghadirkan metode protes yang hidup, menghibur dan inoavtif yang bisa menarik perhatian internasional, termasuk menjadi hit di media sosial.

'Anda mengacaukan generasi yang salah', telah menjadi salah satu slogan yang paling sering diulang-ulang dari gerakan tersebut, merujuk pada anggota Generasi Z yang bisa didefinisikan sebagai mereka yang lahir akhir 1990-an hingga awal 2010-an.

Misalnya saja Bella (20) yang bersama kedua temannya ikut dalam unjuk rasa di Yangon. Seperti warga Myanmar lainnya, mereka dikejutkan dengan aksi militer Myanmr. Pengalaman kedua orangtuanya dari kudeta 1988, membuat tekad Bella dan rekan-rekannya makin kuat untuk menentang kudeta militer.

“Sejak itu, kami menghabiskan malam dengan mengkhawatirkan apa yang akan terjadi, dan kapan mereka akan memutus saluran telepon lokal dan internet lagi. Dan bertanya-tanya siapa yang akan ditahan selanjutnya,” kata Bella saat mengambil bagian dalam protes duduk di Jalan Pagoda Kabaaye, melansir The Irrawaddy.

Hal yang sama dirasakan oleh Anitia, wanita seumuran dengan Bella. Ia mengatakan, sejak kudeta 1 Februari lalu, Ia muak dengan kondisi yang disebabkan oleh militer Myanmar yang menyebabkan hak dan kebebasan mereka direnggut paksa. 

Kondisi yang membuat Anitia bersemangat untuk bergabung dengan anak-anak seusianya dalam menentang kudeta militer. Siang hari, Ia turun ke jalan berunjuk rasa. Pada malam hari, mereka mengikuti ritual memukul panci dan wajan, yang telah menjadi cara yang populer untuk menunjukkan perlawanan terhadap rezim militer.

"Kami tidak akan membiarkan mereka merusak masa depan kami. Orang tua kami harus menderita di bawah kediktatoran,” serunya.

Sementara, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dengan rok mini dan cross top berdiri di antara sekelompok demonstran muda yang mengenakan kostum warna-warni dan menyanyikan lagu revolusioner populer, "A Yay Kyi Pyi".

Bocah itu, Eant Htoo Aung, mengatakan Ia mengenakan pakaian itu untuk menarik lebih banyak perhatian internasional tentang apa yang terjadi di Myanmar, dengan harapan negara itu bisa mendapatkan bantuan dari komunitas global untuk melawan kediktatoran militer.

“Kami tidak menerima kudeta militer. Saya marah dengan diktator yang menangkap Amay Suu (Aung San Suu Kyi), yang sangat baik untuk negara kita,” katanya dengan suara yang jelas sambil memegang papan vinil bertuliskan slogan 'Pemerintahan Amay Suu Bebas'.

Htoo Aung mengatakan, Ia bersama rekan-rekan seusianya harus meninggalkan kelas online hingga mengenyampingkan bermain game seluler, untuk bergabung menentang kudeta yang dilakukan oleh militer. 

Cora, seorang gadis yang merupakan bagian dari protes yang sama, mengatakan dia telah mendengar tentang mantan diktator dari buku dan generasi yang lebih tua, tetapi menghadapi rezim seperti itu pada kenyataannya telah memperkuat penentangannya terhadap kediktatoran.

“Apakah dia tidak tahu bahwa internet adalah sumber utama kita untuk belajar, terutama di masa COVID-19? Bagaimana dia bisa melakukan itu? ” katanya, merujuk pada gangguan dan gangguan internet sejak militer melancarkan kudeta.