Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Dinilai Merusak Demokrasi, Menyuburkan Nepotisme
Gedung Mahkamah Konstitusi (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, menyoroti sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap Ketua MK Anwar Usman.

Dedi menilai, kehidupan demokrasi memang tengah berada di ujung tanduk usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimal usia capres-cawapres.

"Demokrasi tentu terganggu, lahirnya politik dinasti, suburnya nepotisme," ujar Dedi Kurnia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 3 November.

Menurut Dedi, putusan MK terhadap gugatan batas usia capres cawapres paling rendah 40 tahun kecuali pernah menjabat jabatan di pemilu, termasuk kepala daerah membuka jalan bagi tumbuh suburnya nepotisme. Lebih parah lagi, kata Dedi, MK dinilai telah merusak tatanan bernegara.

"Soal imbas putusan itu yang membuka potensi nepotisme, itu hanya bagian kecil, bagian besarnya adalah MK telah merusak tatanan yudikatif. Kerusakan ini bukan soal politik, tetapi tatanan negara ikut keropos," jelasnya.

Dedi berpandangan, Ketua MK Anwar Usman layak dicopot dari jabatannya dan diproses hukum. Hal ini berdasarkan beberapa argumen yang menunjukkan pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.

Pertama, kata Dedi, hakim yang memiliki relasi langsung dengan materi gugatan, seharusnya tidak ikut dalam merumuskan putusan. Kedua, MK tidak memiliki wewenang mengubah, menambah maupun mengurangi naskah UU.

MK, tambahnya, hanya bisa membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum ke DPR RI.

"Sehingga MK layak disebut merusak konstitusi, bahkan hakim yang ikut mengubah UU layak disebut kriminal," pungkas Dedi.

Diketahui, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyebutkan, bukti-bukti yang dibutuhkan MKMK dalam mengungkap kasus dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim sudah lengkap.

"Itu kan sudah saya bilang waktu di sidang. Kami sebenarnya sudah lengkap, bukti-bukti sudah lengkap," ucap Jimly.

Meski demikian, kata Jimly, Majelis Kehormatan tetap harus mengadakan sidang, meski bukti-bukti sudah lengkap.

Ia menjelaskan, tidak menutup kemungkinan ada temuan-temuan baru terkait dengan dugaan pelanggaran etik berkenaan putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres-cawapres.