JAKARTA - Dewan Keamanan PBB kembali menjadi sorotan, usai dua rancangan resolusi terkait krisis di Jalur Gaza, Palestina kandas, menambah daftar kebuntuan setelah sebelumnya terkait perang Rusia-Ukraina dan provokasi nuklir Korea Utara.
Kondisi itu menimbulkan kembali dorongan reformasi struktural satu-satunya badan PBB yang memiliki keputusan yang mengikat itu.
Presiden Majelis Umum PBB (UNGA) Dennis Francis mengatakan, reformasi Dewan Keamanan tetap menjadi tujuan utama sistem PBB, namun negosiasi resmi mengenai masalah ini belum dilakukan. UNGA adalah badan pembuat kebijakan utama PBB.
"Saya berharap saya mendapat jawaban yang brilian," ujar Francis saat konferensi pers di Seoul, Korea Selatan Hari Jumat, ketika ditanya tentang reformasi DK PBB, melansir The Korea Times 20 Oktober.
"Telah ada proses diskusi mengenai jenis keanggotaan Dewan Keamanan yang ingin dibentuk. Namun, negosiasi resmi mengenai hal tersebut belum dimulai," lanjutnya.
"Harap diingat bahwa reformasi dewan akan menjadi sebuah proses. Ini bukan sebuah peristiwa. Kita tidak akan bangun suatu pagi, besok pagi atau minggu depan dan menemukan bahwa ada Dewan Keamanan yang baru," tandasnya.
DK PBB diketahui telah menggelar dua kali pemungutan suara mengenai rancangan resolusi terkait konflik di Gaza. Dalam pemungutan suara Hari Senin, resolusi Rusia menyerukan gencatan senjata segera, jangan panjang dan menyeluruh, serta menghentikan serangan terhadap warga sipil, kandas lantaran hanya didukung China, Uni Emirat Arab, Gabon dan Mozambik. Sementara Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jepang menolak. Adapun Albania, Brasil, Ekuador, Ghana, Malta, Swiss dan Ekuador memilih abstain.
BACA JUGA:
Dalam pemungutan suara Hari Rabu, resolusi usulan Brasil yang menyerukan jeda kemanusiaan untuk memberikan bantuan bagi jutaan orang di Gaza, kandas setelah mendapat veto dari Amerika Serikat. Sejatinya, rancangan resolusi itu sudah mendapatkan dukungan mayoritas anggota DK PBB (Albania, Brasil, China, Ekuador, Prancis, Gabon, Ghana, Jepang, Malta, Mozambik, Swiss dan UEA). Rusia dan Inggris memilih abstain.
Diketahui, mekanisme pemungutan suara resolusi DK PBB memerlukan minimal sembilan suara mendukung, dari total 15 anggota dewan tersebut, tanpa adanya veto dari salah satu anggota tetap dewan, yakni Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia.