Blak-blakan Bos Pertamina Soal Gugatan Rp40 Triliun dari Perusahaan Migas Mozambik
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati. (Foto: Dok. Pertamina)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati akhirnya buka suara terkait perjanjian jual-beli (SPA) gas alam cair atau LNG dari Mozambik. Menurut dia, rencana impor gas ini sudah berjalan sejak 2013, di masa kepemimpinan Karen Agustiawan.

Nicke menjelaskan alasan perseroan saat itu mencari gas bumi hingga ke luar negeri karena Kementerian ESDM merilis data bahwa Indonesia akan defisit gas bumi pada 2025. Sedangkan, Mozambik terpilih karena memiliki sumber gas bumi yang besar.

"Ini sebetulnya sudah lama, sejak 2013 negosiasi. Tentu saja kembali lagi, untuk LNG long term contract ini kita pakai neraca gas nasional 2011 (yang menyebutkan defisit gas bumi pada 2025). Sehingga dimulai lah pencarian source LNG dari luar," katanya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa, 9 Februari.

Pada 2014, kedua perusahaan melakukan penandatanganan kesepakatan awal atau HoA dengan volume 1 juta ton per tahun (MTPA) selama 20 tahun dengan pengiriman pertama di 2025 secara bertahap. Harganya adalah DES (delivered ex-ship) 13,5 persen dari Japan crude cocktail (JCC).

Lalu, pada 2017, kedua belah pihak melakukan pembicaraan lagi terkait adendum (pasal tambahan) pada perjanjian jual-beli (SPA) karena perubahan kondisi pasar. Setahun kemudian, mereka melakukan finalisasi HoA. 

Baru pada Februari 2019, Pertamina menandatangani perjanjian jual-beli dengan Anadarko. Gas tersebut berasal dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd yang dimiliki Mozambique Area 1, anak usaha Anadarko.  

Nicke menjelaskan kontrak jangka panjang ini menggunakan perhitungan neraca gas 2018. Namun, Pertamina berencana mengkaji ulang negosiasi kontrak impor LNG dari Mozambik tersebut karena neraca gas saat ini berbeda dengan 2018 lalu.

"Dasar perencanaan Pertamina mengacu ke neraca gas nasional karena dilihat ada kekurangan pada 2025 maka dilakukan aksi korporasi. Namun mengingat situasi pasca COVID-19 yang belum kita tahu sampai kapan, yang kita lihat demand menurun," ucapnya.

Bantah adanya gugatan

Sementara itu, Nicke juga membantah ada gugatan dari Mozambik terkait kontrak impor LNG tersebut. Menurut dia, kontrak itu belum berjalan, sehingga masih bisa dikaji ulang.

"Gugatan tidak ada karena efektif 2025. Hari ini kami kaji supply dan permintaan gas keseluruhan karena prinsip hati-hati. Perencanaan supply gas neracanya kan berbeda pasca COVID-19," jelasnya.

Sebelumnya, Komisi VII DPR RI mempertanyakan persoalan yang membelit PT Pertamina (Persero) hingga digugat perusahaan migas asal Mozambik, Anadarko Petroleum Corporation. Nilai gugatan yang ditaksir mencapai 2,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp40 triliun.

Pertamina digugat Anadarko karena tak kunjung merealisasikan perjanjian jual-beli atau Sales Purchase Agreement (SPA) gas alam cair atau LNG dari Mozambik. Padahal, SPA ini diteken Pertamina dan Mozambique LNG1 Company yang merupakan anak usaha Anadarko pada Februari 2019 lalu.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra Kardaya Warnika mengatakan pemerintah harus turun tangan menyelesaikan gugatan ini karena Pertamina menandatangani pembelian LNG dari Mozambik melihat dari proyeksi kebutuhan gas alam dalam negeri.

"Jadi jangan dibiarkan berjalan sendiri, bantu Pertamina, tolong Pertamina agar tidak kena tuntutan Rp 39,5 triliun," katanya, dalam rapat kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Selasa, 19 Januari.