Menteri Intelijen Iran Sebut Barat Gunakan Pengunjuk Rasa untuk Mengacaukan Stabilitas Jelang Pemilu
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberikan suara dalam pemilihan umum. (Wikimedia Commons/Mohamad Sadegh Heydari)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Intelijen Iran pada Hari Minggu mengatakan, pasukan keamanannya sedang mempersiapkan antisipasi peringatan satu tahun meletusnya protes-protes besar di negara itu, menuduh Barat menggunakan demonstrasi-demonstrasi ini untuk mengacaukan stabilitas negara menjelang pemilihan umum tahun depan.

"Rencana paling penting dari musuh adalah untuk mengacaukan stabilitas dan mengurangi partisipasi dalam pemilihan umum," kata Menteri Ismail Khatib, mengutip The National News dari Tasnim News Agency 21 Agustus.

"Meskipun mereka memiliki rencana untuk memperingati kerusuhan, tujuan utama mereka adalah pemilu," katanya, seraya menambahkan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dan pasukan paramiliter Basij harus bekerja untuk mencapai "otoritas dan kemenangan besar".

Teheran menuduh Barat, khususnya Amerika Serikat dan Israel, berada di balik protes yang melanda negara tersebut pada musim gugur lalu. menyusul kematian Mahsa Amini ketika berada dalam tahanan polisi moral Iran.

Mereka menyebut para pengunjuk rasa sebagai "perusuh" dan telah mengeksekusi beberapa orang yang dihukum karena "korupsi di Bumi" dan membunuh anggota Basij, yang menanggapi demonstrasi tersebut dengan kekuatan brutal.

Lebih dari 500 orang terbunuh dan beberapa orang dieksekusi karena bergabung dengan protes tersebut.

Demonstrasi sebagian besar telah mereda dan pihak berwenang telah meningkatkan tindakan keras terhadap warga sipil, meningkatkan pengawasan terhadap wanita yang tidak mengenakan jilbab dan memanggil keluarga para pengunjuk rasa yang terbunuh.

Iran sendiri diketahui akan mengadakan pemilihan parlemen pada Bulan Maret mendatang, yang pertama kali diadakan sejak protes dimulai.

Masih di Hari Minggu, Menteri Intelijen Iran mengatakan, beberapa "mata-mata" Eropa ditahan dengan ancaman hukuman mati.

Di antaranya ada dokter Swedia-Iran, Ahmadreza Djlalali, dijatuhi hukuman mati pada bulan Oktober 2017, karena dituduh melakukan korupsi melalui spionase dan kolaborasi dengan Israel.

Dia bersikukuh tidak bersalah dan masih ditahan di sel isolasi di Penjara Evin, yang terkenal dengan tingginya populasi tahanan asing dan tahanan berkewarganegaraan ganda, serta beberapa pengacara, aktivis dan jurnalis paling terpelajar di Iran.

Yang juga berada dalam daftar hukuman mati adalah Jamshid Sharmahd, seorang insinyur keturunan Iran-Jerman dan warga AS yang telah lama tinggal di Iran, dijatuhi hukuman mati atas tuduhan korupsi, sebuah istilah yang luas dan samar-samar yang sering kali menyebabkan hukuman mati.