Rekor Terus Kasus COVID-19, PPKM Airlangga Terbukti Tak Mempan Tanggulangi Pandemi
Mal boleh beroperasi hingga pukul 20.00 WIB di PPKM periode kedua. (Ilustrasi/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Sudah tiga pekan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) diterapkan di wilayah Jawa-Bali. PPKM yang masih diterapkan hingga 8 Februari tak berpengaruh terhadap pandemi COVID-19.

Buktinya, angka kasus baru COVID-19 di Indonesia masih di kisaran belasan ribu. Yang terbaru, jumlah kasus positif COVID-19 per Sabtu, 30 Januari mencapai 14.518. Artinya rekor baru lagi jumlah baru pasien COVID-19.

Salah satu upaya pemerintah menekan penyebaran COVID-19 dilakukan dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali. Tapi setelah PPKM periode pertama pada 11-25 Januari diterapkan, sorotan datang dari berbagai pihak.

Bukan hanya soal roda ekonomi yang terdampak, seperti mal, restoran. PPKM dinilai tak mempan karena sudah hampir 3 minggu diterapkan, angka COVID-19 tetap tinggi.

Pemerintah sudah satu kali memperpanjang PPKM, yakni periode hingga 8 Februari. Namun, ada satu aturan yang diubah ‘menolerir’ urusan ekonomi dengan penambahan waktu operasional pada sektor usaha mal dan restoran. Jika selama PPKM pada tanggal 11 Januari hingga 25 Januari hanya dapat beroperasi sampai pukul 19.00 WIB, dalam perpanjangan PPKM, jam operasional diizinkan maksimal hingga pukul 20.00 WIB.

"Mall dan restoran yang dalam perbatasan kemarin maksimal jam 7, karena ada beberapa daerah yang (tren penularan COVID-19) agak flat, maka ini di ubah menjadi sampai dengan jam 8 malam," ujar Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto, 21 Januari. 

Selebihnya, ketentuan kegiatan dan mobilitas masyarakat tetap sama dengan aturan PPKM yang telah diterapkan.

Aturannya, perkantoran diwajibkan membatasi 25 persen pekerja yang boleh bekerja di kantor dan 75 persen melakukan pekerjaan dari rumah atau work from home (WFH), lalu belajar digelar secara daring.

Kemudian, sektor esensial termasuk industri tetap 100 persen beroperasi, rumah makan diwajibkan membatasi sebanyak 25 persen pelayanan makan di tempat (dine in) dan masih dibolehkan melayani take away selama 24 jam.

Selanjutnya, kegiatan lain seperti konstruksi tetap berjalan kegiatan, kegiatan ibadah dibatasi 50 persen, fasilitas umum ditutup, lalu terkait dengan transportasi diatur oleh masing-masing pemerintah daerah.

Disorot Epidemiolog

Epidemiolog dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Defriman Djafri mengatakan pemerintah harus mengevaluasi kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan, karena kasus COVID-19 di Tanah Air masih terus meningkat.

"Perlu kita evaluasi. Kalau jumlah kasus naik itu jelas, dan kalau turun maka pastikan pembatasan yang akan dilakukan," katanya,  Minggu 24 Januari.

Ia mengatakan pada dasarnya pembatasan pergerakan masyarakat seharusnya berimbas pada penurunan jumlah kasus COVID-19. Namun, kebijakan PPKM Jawa dan Bali 11 hingga 25 Januari belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

Salah satu persoalannya ialah pembatasan pergerakan masyarakat tidak bisa hanya dititikberatkan pada satu atau dua pulau saja.

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut berpendapat seharusnya jika ingin membatasi pergerakan publik, pembatasan secara menyeluruh harus diterapkan dan tidak terkonsentrasi pada dua pulau saja.

Jalan tengah yang selama ini dilakukan pemerintah, yakni menyelamatkan aspek kesehatan dan ekonomi secara bersamaan dinilai belum cukup efektif dalam menekan kasus COVID-19.

Lebih Efektif PSBB

Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di 15 daerah di Jawa Timur tak mampu menekan kasus COVID-19 di Jatim. Faktanya, kasus COVID-19 di Jatim terjadi penambahan rata-rata 900 sampai 1.000 per hari.

Demikian disampaikan pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, menyayngkan PPKM yang diterapkan di Jatim tak berbanding lurus dengan pengetatan protokol kesehatan (prokes). 

"Sebab kegiatan non esensial tetap boleh dilakukan. Pembatasan yang dulu ketat saja kurang efektif, apalagi sekarang. Wajar kalau kasusnya meningkat," kata Windhu beberapa waktu lalu.

Menurut Windhu, cara menekan kasus covid-19 bukan dengan menerapkan PPKM, melainkan meningkatkan pengetatan protokol kesehatan (prokes).

Sebab, kata dia, bertambahnya kasus COVID-19 di Jatim, dipengaruhi kedisiplinan prokes di masyarakat yang mulai menurun. 

"Jika dulu ketika PSBB masyarakat yang disiplin prokes mencapai 75 persen, sekarang hanya 50 persen. Karena memang prokesnya lebih ketat, sehingga ada efek jera bagi masyarakat," ujarnya.