SURABAYA - Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di 15 daerah di Jawa Timur tak mampu menekan kasus COVID-19 di Jatim. Faktanya, kasus COVID-19 di Jatim terjadi penambahan rata-rata 900 sampai 1.000 per hari.
Demikian disampaikan pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, menyayngkan PPKM yang diterapkan di Jatim tak berbanding lurus dengan pengetatan protokol kesehatan (prokes).
"Sebab kegiatan non esensial tetap boleh dilakukan. Pembatasan yang dulu ketat saja kurang efektif, apalagi sekarang. Wajar kalau kasusnya meningkat," kata Windhu dihubungi Jumat, 22 Januari.
Berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19 Jatim, penambahan kasus COVID-19 di Jatim rata-rata mencapai 900 hingga 1.000 per hari. Misalnya pada Kamis, 21 Januari 2021, angka kasus covud-19 di Jatim bertambah 1.134 orang menjadi total 103.286 kasus.
Kemudian ada 955 kasus baru sehari sebelumnya pada Rabu, 20 Januari 2021, dan 972 kasus pada Selasa, 19 Januari 2021. Namun kasus baru covid-19 sempat menurun menjadi 848 per Senin, 18 Januari 2021.
Meski sempat menurun, penambahan kasus COVID-19 kembali meningkat 974 kasus per Minggu, 17 Januari. Menurut Windhu, cara menekan kasus covid-19 bukan dengan menerapkan PPKM, melainkan meningkatkan pengetatan protokol kesehatan (prokes).
Sebab, kata dia, bertambahnya kasus COVID-19 di Jatim, dipengaruhi kedisiplinan prokes di masyarakat yang mulai menurun.
"Jika dulu ketika PSBB masyarakat yang disiplin prokes mencapai 75 persen, sekarang hanya 50 persen. Karena memang prokesnya lebih ketat, sehingga ada efek jera bagi masyarakat," ujarnya.
BACA JUGA:
Windhu menyarankan agar pemerintah melakukan pembatasan pergerakan keluar masuk masyarakat. Sebab, rantai penularan virus bisa diputus dengan pembatasan pergerakan dan pembatasan interaksi.
"Saya harap pemerintah lebih gencar dalam melakukan testing dan tracing. Sehingga kasus yang ada di bawah permukaan, cepat teratasi serta menghentikan penularan," katanya.
Windhu optimistis penularan COVID-19 di Jatim bisa dihentikan, jika ada pembatasan pergerakan sosial. Jika tidak, maka akan terjadi lonjakan kasus seperti yang terjadi pada awal 2021, di mana mobilitas masyarakat pada libur akhir tahun 2020 cukup tinggi.
"Ini merupakan satu-satunya cara mengendalikan kasus COVID-19," kata Windhu.