Bagikan:

JAKARTA - Selama ribuan tahun, rute maritim berbahaya Mediterania di sepanjang Tepi Skerki (Skerki Banks) memiliki kepentingan strategis yang sangat penting bagi para penakluk, serta harta karun bagi para penjarah.

Tempat ini merupakan perairan kuburan bagi ratusan kapal yang tenggelam dalam pertempuran sejak zaman kuno hingga zaman modern. Atau menjadi korban dalam arus yang berlawanan tanpa henti dan serangkaian ketinggian berbatu yang mengancam yang tersembunyi di bawah permukaan.

Beberapa waktu lalu, tim arkeolog bawah laut internasional mampu menyingkap sedikit rahasia yang terletak jauh di bawah permukaan air kawasan itu.

Dalam misi internasional terbesar dan paling ambisius yang pernah dilakukan di bawah naungan UNESCO, para ahli dari Aljazair, Kroasia, Mesir, Prancis, Italia, Maroko, Spanyol dan Tunisia memetakan area dasar laut seluas 10 km persegi, dalam upaya untuk mempelajari dan melindungi warisan budaya bawah laut mereka.

Dua robot dan sonar multibeam digunakan untuk mendokumentasikan sisa-sisa enam bangkai kapal yang berasal dari zaman kuno hingga abad ke-20. Tiga di antaranya sebelumnya tidak diketahui.

Tim multilateral untuk misi ini, yang telah direncanakan selama empat tahun, akhirnya bekerja sama selama dua minggu tahun lalu, sebelum meluncurkan temuan mereka bulan lalu.

arkeologi bawah laut
Peluncuran ROV Arthur DRASSSM dari Kapal Alfred Merlin. (Sumber: UNESCO)

"Warisan bawah laut sangat penting," kata arkeolog UNESCO Alison Faynot, kepada The National News seperti dikutip 20 Juli.

"Anda mengira bahwa warisan budaya bawah laut sangat terlindungi dan tidak terjangkau, namun sebenarnya sangat rapuh, dan hanya dengan perubahan lingkungan atau dasar laut saja bisa memberikan dampak yang sangat berbahaya," jelasnya.

"Orang-orang melihat warisan budaya bawah laut sebagai harta karun dan sesuatu untuk dikoleksi. Namun sebenarnya warisan budaya bawah laut sangat penting. Semua detail kecilnya memberi kita begitu banyak petunjuk tentang dari mana kita berasal," tandasnya.

"Di Mediterania, ini menunjukkan mengapa hal ini sangat berarti karena delapan negara terlibat dan bersatu karena mereka ingin berbagi warisan. Warisan budaya bawah laut bukanlah harta karun, ini rentan dan karena itu kita benar-benar perlu melindunginya dan mengedukasi masyarakat untuk melindunginya," urainya.

Misi kelompok ini terdiri dari dua proyek mandiri yang difokuskan untuk melakukan studi menyeluruh terhadap Skerki Banks di landas kontinen Tunisia. Serta mengikuti jejak arkeolog Amerika Serikat, Robert Ballard dan Anna Marguerite McCann, di Selat Sisilia.

Saat melakukan survei skala penuh di dasar laut di sekitar Keith Reef, zona berbahaya di Skerki Bank, mereka menemukan tiga bangkai kapal yang sebelumnya tidak diketahui: satu, yang diyakini sebagai kapal dagang yang berasal dari abad ke-1 sebelum masehi; dan dua, sebuah kapal logam dan kapal kayu, dari akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.

Para arkeolog menggunakan robot bernama Hilarion, yang menghabiskan waktu 18 jam di bawah air, untuk memverifikasi dan mendokumentasikan target area yang baru dipetakan, dan sonar multibeam mengumpulkan lebih banyak informasi tentang area tersebut.

arkeologi bawah laut
Kapal penelitian Alfred Merlin yang digunakan para peneliti di Skerki Banks. (Sumber: M.Pradinaud/UNESCO)

Tiga bangkai kapal Romawi yang ditemukan di landas kontinen Italia selama ekspedisi Ballard-McCann dari tahun 1980-an hingga 2000 juga didokumentasikan dalam gambar beresolusi tinggi oleh robot yang disebut Arthur, dengan berat kurang dari 80 kg, dengan pencahayaan yang memadai dan mampu menyelam hingga kedalaman 2.500 meter.

Warisan bawah laut seperti itu rentan terhadap eksploitasi, pukat harimau dan penangkapan ikan, perdagangan manusia, serta dampak perubahan iklim, sehingga tujuan misi ini adalah untuk menentukan zona yang tepat di mana banyak bangkai kapal berada dan mendokumentasikan sebanyak mungkin artefak.

Sebagai kelanjutan dari kerangka kerja Konvensi UNESCO 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air untuk area di luar perairan teritorial, proyek ini awalnya diluncurkan pada tahun 2018.

"Kami memiliki delapan negara yang bekerja sama untuk melindungi warisan bersama," jelas Faynot.

"Kami memilih area ini sebagai yang pertama, karena Italia mendatangi kami pada tahun 2018 dan memberi tahu kami tentang beberapa bangkai kapal. Itu adalah area yang sangat berbahaya dan kami ingin melindungi bangkai kapal di sana. Itu berbahaya bagi robot... kami harus berharap robot tidak terjebak," ungkapnya.

"Robot ini dapat menangkap benda-benda dan meniupkan udara ke benda tersebut dan mendorong sedimen agar kami dapat melihat apa yang ada di sana, sambung Faynot.

"Misi ini dapat terlaksana karena Prancis memberikan kami akses ke kapal dan robotnya yang dapat masuk ke dalam laut. Teknologi yang tersedia memungkinkan kami untuk melakukan pekerjaan ini," tandasnya.

arkeologi bawah laut
Reruntuhan kapal di Sicilian Channel. (Sumber: V.Creuze/ROV DRASSM/UNESCO)

Bersama-sama, kedua robot tersebut merekam 400 jam rekaman video dan mengambil lebih dari 20.000 gambar.

Para arkeolog menemukan kondisi pengawetan bangkai kapal dan artefak yang ditemukan oleh Ballard dan McCann hampir sama dengan hampir 30 tahun yang lalu. Foto serta video baru dengan resolusi lebih tinggi membantu mengkarakterisasi dan memberi tanggal pada kargo kapal.

Namun, ketiga penemuan di dasar laut Tunisia ini sangat menggembirakan, bukan hanya karena keberadaannya, tapi juga potensi yang mungkin mereka tunjukkan bagi peninggalan arkeologi lain yang masih 'dirahasiakan' yang berada di dasar laut.

"Ketika kami menemukan kapal-kapal baru, kami merasa lega karena semua upaya yang telah kami lakukan, dan masih ada hal-hal yang dapat dipelajari dari area yang sangat dijarah dan masih ada sesuatu yang harus dilindungi," jelas Faynot.

"Kami hanya merasakan kebahagiaan dan kegembiraan karena masih banyak yang bisa dipelajari. Kami ingin kembali ke situs-situs ini dengan misi lain karena mungkin masih banyak yang bisa ditemukan," ungkapnya.

"Setiap langkah yang kami tempuh merupakan pembelajaran bagi kami. Kami sekarang harus bekerja sama untuk melindunginya. Survei dan misi adalah jawabannya, seperti halnya edukasi sebagai langkah pertama untuk melindunginya," tandas Faynot.

Tim tidak mengambil benda-benda dari kapal-kapal tersebut, namun berharap untuk kembali dengan teknologi yang lebih canggih di masa depan.

"Teknologi ini perlahan-lahan berkembang, itulah mengapa sangat penting untuk tidak mengambil dan mengumpulkan artefak, kami memutuskan secara kolektif untuk tidak melakukannya, kami telah mendokumentasikannya sehingga kami dapat kembali lagi mungkin dengan alat yang lebih baik," sebut Faynot.

"Kami ingin sekali kembali ke Tunisia dan menyelam di sana dan melakukan survei dengan manusia, bukan dengan robot. Ada banyak daerah di dunia yang ingin kami kunjungi berikutnya," pungkas.

Rencananya, sebuah film dokumenter tentang pekerjaan mereka akan ditayangkan di Paris akhir tahun ini.