Bagikan:

JAKARTA - Memegang rekor sebagai orang yang paling banyak mencapai puncak Gunung Everest, Kami Rita Sherpa mengatakan kondis sherpa saat ini berbeda dengan zamannya, ingin ada peningkatan kesejahteraan para pemandu.

Pendaki Nepal ini mendapat sambutan bak pahlawan saat kembali ke Kathmandu mencapai puncak Everest untuk ke-28 kalinya Mei lalu. Tetapi, semua kegembiraan itu tampaknya telah hilang saat ia mengamati pasang surutnya kehidupan dari kursi di ruang tamu kecil yang rapi di apartemen yang disewanya.

"Tidak ada masa depan di Nepal," kata ayah dua anak berusia 53 tahun ini kepada Reuters, seperti dikutip 20 Juli.

"Mengapa tinggal di sini?" tanyanya, berbicara dalam bahasa asli Nepal dan sedikit bahasa Inggris.

"Kami membutuhkan masa depan untuk diri kami sendiri... untuk anak-anak kami," tandasnya.

Mengenakan topi baseball bertuliskan Legenda "Everest Man", sementara sisa wajahnya yang menghitam akibat luka bakar karena angin dan salju masih nampak, Kami Rita jelas bangga dengan pencapaiannya.

Dia bersyukur uang yang dia hasilkan sebagai pemandu ekspedisi telah membantunya pindah ke ibu kota Nepal, sehingga anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan yang tidak pernah dia dapatkan.

Anak laki-lakinya (24) belajar pariwisata, sementara anak perempuannya (22) mengambil kursus Teknologi Informasi.

"Ini tidak akan mungkin terjadi jika saya terus tinggal di Thame dan tidak mendaki," kata Kami Rita, yang meninggalkan sekolah di desanya di Moutain ketika dia berusia sekitar 12 tahun.

Penghargaan dan sertifikat Rekor Dunia Guinness memenuhi etalase di belakangnya. Poster-poster Kami Rita di Gunung Everest pun menghiasi dindingnya. Tetapi, dia berbicara tentang imigrasi ke Amerika Serikat untuk menemukan peluang baru bagi keluarganya.

kami rita sherpa
Kami Rita Sherpa. (Instagram/kamiritasherpa)

Kami Rita lahir di desa Himalaya yang sama dengan Tenzing Norgay, seorang sherpa yang bersama dengan Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru berhasil mencapai puncak Gunung Everest pertama kali 70 tahun yang lalu.

Desa Thame, demikian namanya, berada di Solukhumbu, sebuah distrik yang telah menjadi kiblat para pendaki gunung sejak pendakian pertama kali pada 29 Mei 1953.

Terletak di perbatasan dengan Tibet di Tiongkok, puncak tertinggi Solukhumbu adalah Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia dengan ketinggian 8.849 meter (29.032 kaki).

Selain Everest, di sana juga terdapat Lhotse (8.516 meter), Malaku (8.481 meter), Cho Oyu (8.201 meter), Gyachung Kang (7.952 meter), dan Nuptse (7.855 meter), deretan nama-nama yang pasti diinginkan oleh setiap pendaki gunung papan atas dalam daftar riwayat hidup mereka.

Sherpa sendiri adalah kelompok etnis yang tinggal di wilayah Everest, selalu menjadi tulang punggung ekspedisi gunung. Mereka memperbaiki tali, tangga, membawa barang dan juga memasak, menghasilkan uang antara 2.500 hingga 16.500 dolar AS atau lebih, tergantung pengalaman, dalam satu ekspedisi.

kami rita sherpa
Kami Rita Sherpa. (Instagram/kamiritasherpa)

Namun para sherpa muda, menurut Kami Rita, berpaling dari kehidupan tersebut.

"Generasi baru para sherpa tidak mau mendaki. Mereka ingin pergi ke luar negeri untuk mencari karir yang lebih baik," ungkapnya.

"Dalam 10-15 tahun ke depan, akan ada lebih sedikit sherpa yang memandu para pendaki. Jumlah mereka sudah sedikit sekarang," terang Kami Rita.

Dikatakan, banyak pemandu sherpa terkenal telah meninggalkan Nepal untuk mencari peluang yang lebih baik di Barat, terutama di Amerika Serikat.

Memang, Tenzing Norgay yang terkenal juga berimigrasi, tetapi hanya sampai ke negara tetangga, India, tempat ia bekerja di sebuah sekolah pendakian.

Ada pun pendakian gunung dan trekking menarik ribuan orang asing ke Nepal setiap tahunnya, memberikan kontribusi lebih dari 4 persen atau senilai 40 miliar dolar AS pada perekonomian.

Nepal memperoleh 5,8 juta dolar AS dalam bentuk biaya perizinan, 5 juta dolar AS dari Gunung Everest saja, selama musim pendakian Bulan Maret-Mei tahun ini.

Para pejabat perusahaan tur pendakian memperkirakan lebih dari 500.000 orang bekerja di bidang pariwisata, tetapi banyak yang tetap rentan secara ekonomi di negara miskin yang berpenduduk 30 juta jiwa ini.

"Pemerintah tidak berbuat banyak untuk kesejahteraan para sherpa," kata Kami Rita, mendesak pihak berwenang untuk meluncurkan skema kesejahteraan seperti dana pensiun, tunjangan pensiun dan fasilitas pendidikan untuk anak-anak mereka.

Ekspedisi yang mempekerjakan para sherpa harus mengambil asuransi jiwa untuk mereka, tetapi bayarannya hanya 1,5 juta rupee Nepal (sekitar 11.300 dolar AS).

"Ini harus ditingkatkan menjadi 5 juta rupee (sekitar 38.000 dolar AS)," sebut Kami Rita, sambil mengusap pipinya yang memar dengan lembut.

Diketahui, tiga orang sherpa tewas bulan lalu saat melintasi Air Terjun Khumbu yang berbahaya di Everest.