Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menahan eks Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono. Dia diduga menerima fee setelah menjadi broker atau perantara bagi pengusaha yang bergerak di bidang ekspor impor.

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka dimaksud selama 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 7 Juli.

Langkah Andhi menjadi broker terjadi sejak 2012 hingga 2022. Dia diduga memanfaatkan jabatannya Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Makassar.

Kata Alexander, Andhi juga memberikan rekomendasi bagi pengusaha di bidang ekspor impor. "Sehingga nantinya dapat dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnisnya," tegasnya.

Selain itu, Andhi diduga menghubungkan antar importir yang mencari barang logistik dari Singapura dan Malaysia ke Vietnam, Thailand, Filipina, hingga Kamboja.

"Dari rekomendasi tindakan broker yang dilakukannya AP diduga menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk fee," ujarnya.

Tak sampai situ, Andhi diduga menyalahi aturan kepabean di antaranya memberikan izin ekspor pada pengusaha yang tak berkompeten. Dari berbagai praktik lancung ini, dia diduga melakukan penerimaan melalui transfer uang ke rekening orang kepercayaannya.

Alexander menyebut orang kepercayaannya itu adalah pengusaha ekspor impor dan pengurusan jasa kepabeanan. "(Mereka, red) bertindak sebagai nominee," ungkapnya.

Adapun jumlah uang yang diterima Andhi mencapai Rp28 miliar dan masih bisa bertambah. Dari angka itu, dia diduga menyembunyikan sekaligus menyamarkan pembelian aset sehingga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Selain itu, dia diduga menggunakan rekening orang lain di antaranya ibu mertuanya. Dari duit tersebut Andhi diduga membeli keperluan keluarganya.

"Di antaranya dalam kurun waktu 2021 dan 2022 melakukan pembelian berlian senilai Rp652 juta, pembelian polis asuransi senilai Rp1 miliar, dan pembelian rumah di wilayah Pejaten, Jaksel senilai Rp20 miliar," jelas Alexander.

Akibat perbuatannya Andhi disangka melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian ia juga disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.