Politikus Gerindra Minta Kasus Rizieq Shihab Diselesaikan dengan <i>Restorative Justice</i>, Ini Penjelasannya
Rizieq Shihab (DOK. VOI/Irfan Meidianto)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman mengatakan kasus Rizieq Shihab terkait kerumunan massa di tengah pandemi bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice

Hal ini disampaikan kepada Jaksa Agung S.T. Burhanuddin dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung.

"Saya berharap ini bisa dilakukan dengan pendekatan restorative justice yang pertama kasus kerumunan Habib Rizieq Shihab," kata Habiburokhman dalam rapat kerja yang ditayangkan di akun YouTube DPR RI, Selasa, 26 Januari.

Menurutnya penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif dinilai tepat karena Rizieq sudah mengakui kesalahannya dalam kasus kerumunan yang membuat dirinya harus mendekam di penjara dan telah bertanggung jawab atas perbuatannya. Rizieq juga sudah membayar denda terkait kerumunan Petamburan, Jakarta. 

"Sehingga, saya pikir dengan tidak mengintervensi proses hukum dan dengan tetap menghormati aparat penegak hukum yang melakukan, proses ini bisa dilakukan dengan proses restorative justice,” ujar Habiburokhman.

Dikutip dari klinik Hukum Online, keadilan restoratif menitikberatkan pada penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator.

Sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum.

Ada syarat materiil dan formil dalam penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif. Syarat materiil itu di antaranya meliputi, tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak menimbulkan penolakan masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat yakni soal kesengajaan sebagai maksud atau tujuan. 

Sedangkan syarat formil di antaranya meliputi surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor), surat pernyataan perdamaian, juga pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab dan ganti rugi.

Bagaimana kasus penghasutan hingga muncul kerumunan Rizieq Shihab?

Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka dalam 3 perkara yakni penghasutan kerumunan Petamburan, kerumunan Megamendung dan kasus menghalangi satgas COVID-19 di RS Ummi Bogor

“Restoratif itu (mensyaratkan) harus ada korban. Kalau di kasus kerumunan tentu tidak bisa ditahan Rizieq. Ditahan itu kasus penghasutan,” kata ahli hukum pidana dari Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan (Kalsel), Mispansyah dihubungi VOI, Selasa, 26 Januari.

Untuk persoalan kerumunan, Rizieq Shihab menurut Mispansyah sudah membayar denda terkait UU Kekarantinaan Kesehatan.

Restorative justice justru ada korban dan pemulihan keadaan karena dilanggarnya ketentuan ketertiban di masyarakat. Sedangkan (untuk kasus) penghasutan harus terpenuhi delik materiil,” sambung Mispansyah.

Menurutnya restorative justice biasa diterapkan di kasus pencemaran nama baik. Termasuk kasus ujaran kebencian.

“Kalau pencemaran nama baik bisa saja (restorative justice) karena berkaitan dua belah pihak,” imbuhnya. 

“(Untuk kasus Rizieq) menurut saya soal diskresi dari Polri. Kebijakannya di Polri bila pidana tidak memenuhi unsur delik,” sambung Mispansyah.