Bagikan:

JAKARTA - Sekitar 2 tahun lalu, ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) baru dijebloskan ke dalam sel tahanan karena kasus penistaan agama, dirinya marah bukan kepalang. Tapi, siapa sangka kemarahan tersebut bisa dikontemplasikan menjadi hal yang mendatangkan keuntungan materi baginya. 

Ahok mulai mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada 9 Mei 2017, tepat setelah putusan dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kala itu, Ahok marah pada semua orang. Pun dengan keadaan, juga ia hakimi. 

"Tensi saya pernah mencapai 70/50. Saya berada di titik nadir. Kalau enggak kuat, bisa gila atau depresi saya," tutur Ahok di Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta Selatan, Senin, 17 Februari.  

Sampai pada akhirnya, seorang kolega membesuk mantan gubernur DKI Jakarta itu. Ahok mendapat nasihat agar menerima keadaan dan menjalani itu semua. "Katanya, kalau masuk tahanan jangan bikin panjang usahakan secepat mungkin masuk ke puncak stres agar cepat balik," ucap Ahok.

Dia lalu pindah ke Mako Brimob dan melanjutkan masa tahanan. Karena kegiatan sehari-hari di penjara yang terbatas, ia mencoba menulis. Segala kegiatan yang ia lakukan, termasuk pergumulan batin yang dirasakan, ia tumpahkan ke dalam tulisan. 

Awal-awal, Ahok menulis sekitar lima kalimat. Setelah terbiasa, tulisan yang ia dapatkan per hari bisa mencapai satu lembar. 

"Waktu saya stres, marah, dan kecewa, saya tulis. Lalu saya harus temukan solusinya sendiri," ujar Ahok. "Ide penulisan datang dari 58 buku yang saya baca, lalu cerita pengunjung yang datang." 

Hingga akhirnya Ahok keluar dari penjara, segala buah pergolakan psikologi yang ia tulis di Mako Brimob dikumpulkan. 

Sementara, selama berada di masa tahanan Ahok memperoleh penghasilan hingga Rp19 miliar dengan berjualan buku tentang dirinya yang ditulis oleh para pendukungnya. 

Buku yang diceritakan Ahok itu berjudul Panggil Saya BTP dan baru diluncurkan hari ini. Buku tersebut  berisi soal perjalanan psikologis ahok selama mendekat di Mako Brimob ini dijual dengan harga Rp250 ribu. 

"Melalui buku ini, orang bisa melihat segala masalah dari perspektif yang benar. Kesulitan masalah itu bukan untuk menjatuhkan kita. Tapi justru mendorong ke takdir kita," ucap Ahok. 

"Ketika kamu melihat suatu masalah, gimana pun pasti ada solusinya. Itu yang saya tulis selama di Mako Brimob," lanjut dia. 

Buku yang ditulis Ahok selama masa penjara (Diah Ayu Wardhany/VOI)

Kata psikolog soal kontemplasi dan sisi religius Ahok

Psikolog dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk turut menyumbang kata pengantar dari perspektif pengkajian sisi psikologis Ahok dalam buku ini. 

Ada perubahan perasaan yang Hamdi lihat dari catatan harian Ahok ini. Awalnya, Ahok merasa denial, yang artinya kecewa, marah, dan tidak menerima keadaan. Kemudian, ia berkontemplasi, bernegosiasi dengan keadaan. Sampai akhirnya, Ahok menerima segala perjalanan yang ia hadapi. 

"Karakternya yang tegas tidak mau disetir, memang tidak akan berubah. Nah, ada sifat yang bisa berubah karena lingkungan. Dia jadi kalem dan sabar. Pola adaptasi dia, seperti yang dia bilang, dia sering merenung, enggak ada juga gunanya dia teriak segala macam," jelas Hamdi.

Hal lain yang menarik bagi Hamdi adalah, ketika Ahok dilabeli penista Agama di kalangan masyarakat, Hamdi tak melihat Ahok demikian. Dari catatan harian Ahok yang Hamdi baca, justru terlihat bahwa Ahok adalah orng yang religius. 

"Di persepsi umum dengan embel-embel penista agama, Ahok dianggap sebagai orang jauh dari sosok agamis. Padahal, saya baca catatannya, kok Ahok ini religius abis. Setiap renungan yang ia tulis, ada rujukan ayat Alkitab di akhir tulisan," ungkap Hamdi.