Rektor Jadi Tersangka, Universitas Udayana Minta Kejati Beberkan Bukti Kerugian Negara Kasus Korupsi SPI
Salah satu kuasa hukum Rektor Universitas Udayana Bali Prof. I Nyoman Gde Antara membacakan tanggapan terhadap jawaban pihak Termohon Kejaksaan Tinggi Bali/ANTARA/Rolandus Nampu

Bagikan:

DENPASAR - Tim Hukum Universitas Udayana (Unud) Bali kembali meminta Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) membeberkan alat bukti kerugian negara dalam sidang lanjutan praperadilan terkait kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang melibatkan Rektor Universitas Udayana.

Dalam sidang praperadilan dengan agenda tanggapan (replik) atas jawaban Termohon di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Rabu, 26 April, salah satu tim hukum Unud Gede Pasek Suardika menilai dalam jawaban pihak Termohon dalam hal ini Kejati Bali belum menjelaskan bukti adanya korupsi yang dilakukan oleh Rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara yang telah dijadikan tersangka oleh penyidik Pidana Khusus Kejati Bali.

"Jawaban yang disampaikan termohon kemarin (18/4) dan sidang sebelumnya itu, kami bantah dengan sangat presisi. Dalam kasus korupsi itu yang paling penting adalah bukti adanya kerugian keuangan negara dan sampai sekarang itu tidak muncul," kata Suardika.

Menurut Suardika, Kejati Bali sebagai pihak Termohon harusnya membeberkan bukti adanya kerugian negara yang disebabkan oleh perbuatan tersangka Prof. Antara dalam sidang karena bukti tersebut penting untuk membuktikan bahwa penetapan tersangka dugaan korupsi itu sah secara hukum.

 

Karena itu, dalam sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Agus Akhyudi tersebut, tim hukum Unud yang terdiri dari 20 orang membantah JPU Kejati Bali terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap kerugian negara.

Tim hukum membantah kejaksaan tidak memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut Suardika, dalam Undang-Undang, kejaksaan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit terkait kerugian negara, justru kewenangan tersebut ada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Tim Hukum Unud pun berharap, pada sidang yang akan digelar esok (Kamis 27/4) dengan agenda duplik (jawaban atas replik dari Pemohon), JPU Kejati Bali dapat memberikan bukti adanya kerugian negara.

"Tidak akan pernah ada korupsi, kalau tidak ada kerugian keuangan negara. Di dalam jawaban itu tidak muncul, maka kami tegaskan lagi dengan harapan mudah-mudahan sidang pada Kamis (27/4) bisa muncul bahwa ada audit keuangan negara yang menyatakan kerugian negara sekian," kata Pasek Suardika.

Suardika pun mempertanyakan jumlah kerugian negara dalam penetapan tersangka dugaan korupsi dana SPI penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri yang menyeret Rektor Universitas Udayana Prof. Antara.

Menurut Tim Hukum Unud, jumlah kerugian negara yang diaudit oleh Kejati Bali lebih besar dari jumlah uang SPI yang ditarik dari mahasiswa jalur mandiri Universitas Udayana. Adapun jumlah dana SPI dalam rentang waktu 2018-2022 mencapai Rp335 miliar, sementara jumlah kerugian negara menurut Kejati Bali mencapai Rp442 miliar.

Karena itu, menurut Suardika, hasil audit Kejati Bali menunjukkan pemaksaan seperti model negara kekuasaan (machstaat) dan berlawanan dengan konsep rechstaat (negara berdasarkan hukum). Dia pun menyebut langkah Kejati Bali dalam menjadikan Rektor Universitas Udayana Prof. Gde Antara adalah arahan dari mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ade T Sutiawarman.

"Unud menjadi korban yang sangat besar. Apabila ini dibiarkan, maka seluruh perguruan tinggi negeri menjadi efek domino, apabila praktik seperti ini diberikan kepada oknum kejaksaan. Saya sebut oknum, karena belum tentu semua yang ada di dalam menyetujui langkah seperti ini," kata dia.

Karena itu, dalam persidangan hari ini, tim hukum Unud meminta kepada majelis hakim untuk menghentikan kasus tersebut dan diselesaikan dengan restorative justice.

Sebelumnya (18/4), JPU Kejati Bali yang diwakili oleh Nengah Astawa menyatakan bahwa penetapan Rektor Universitas Udayana Prof. Gde Antara sebagai tersangka memiliki alat bukti yang kuat seperti bukti kerugian negara. Penetapan alat bukti tersebut memiliki dasar hukum yang jelas.

"Termohon sampaikan bahwa BPK bukan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perhitungan keuangan negara, akan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang bisa melakukan perhitungan kerugian negara," kata Nengah Astawa dikutip ANTARA.

 

Hal tersebut, kata Astawa berdasarkan kesimpulan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung dengan jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia Tahun 2009 tanggal 9 Oktober 2009 yang menyatakan jika penghitungan kerugian negara dilakukan oleh Jaksa (Penuntut Umum) yang didukung oleh alat-alat bukti yang kuat, serta memperoleh keyakinan, maka Hakim dapat menetapkan besaran kerugian negara tersebut, walaupun bukan hasil dari pemeriksaan oleh BPK/BPKP selaku auditor.

Kewenangan tersebut dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

Karena itu, JPU mengatakan penetapan tersangka atas nama Pemohon Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M. Eng, sudah memenuhi ketentuan di dalam pasal 1 butir 14 KUHAP karena pada dasarnya penetapan tersangka berdasarkan adanya bukti permulaan yang bisa saja diperoleh baik dalam tahap penyelidikan maupun tahap penyidikan.

Sidang praperadilan antara Pemohon Rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara dan Termohon Kejaksaan Tinggi Bali akan dilanjutkan pada Kamis (27/4) dengan agenda sidang jawaban dari Termohon Kejati Bali atas replik yang diajukan oleh Pemohon Rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara.